TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Novani Karina Saputri mengusulkan agar pemberlakuan pajak penghasilan (PPh) sebesar 0,5 persen pada UMKM konvensional dapat diberlakukan juga pada UMKM online. Hal ini penting untuk menciptakan equal playing field, atau penyetaraan perlakuan antara UMKM konvensional dengan UMKM online.
Besaran pajak 0,5 persen itu, menurut Novani, masih terbilang rasional dan tidak memberatkan. Terlebih transaksi penjualan UMKM online berpeluang lebih besar dibandingkan dengan UMKM konvesional.
Baca: Tarif PPh Final UMKM Diturunkan, Asosiasi: Bukan Kabar Gembira
Novani menilai pemberlakuan pajak penghasilan kepada UMKM online jangan sampai memberatkan para pelaku industri UMKM dan dapat dilakukan secara kolektif (di waktu yang bersamaan dengan pajak-pajak lainnya). “Potensi pajak penghasilan melalui perdagangan online terbilang sangat besar," tuturnya seperti dikutip dari siaran pers, Selasa, 26 Juni 2018.
Terlebih, menurut Novani, sekarang ini banyak sistem perdagangan offline bergeser menggunakan platform online. Yang penting adalah pemerintah sudah cukup adil dalam mengenakan pajak atas perdagangan e-commerce terutama pelaku perdagangan yang mayoritas adalah industri UMKM."Jangan sampai pajak ini menjadi beban dan mendisinsentif pelaku industri untuk menjalankan bisnis mereka.,” kata Novani.
Baca: PPh UMKM Turun, Jokowi Minta Pengusaha Konsisten
Karena pada dasarnya perdagangan online ini bersifat unik, lanjut Novani, aktivitas perdagangan terbilang sangat aktif karena dapat berjualan kapanpun selama terkoneksi dengan internet. Hal ini memunculkan peluang pendapatan dari pajak atas transaksi dagang tersebut. Tapi mendeteksi jumlah penjualan online tidak mudah karena ada banyak pihak yang terlibat dalam perdagangan online selain UMKM itu sendiri. Misalnya saja marketplace.
Kalau pemerintah menyasar perdagangan online, maka pemerintah tidak hanya membicarakan mengenail online retail, tetapi juga mencakup online platform dan classified ads yang juga melakukan transaksi melalui mekanisme elektronik. Belum lagi e-commerce lintas negara dan penjualan yang tidak berupa barang seperti penjualan karakter online game, koran/ majalah online dan lain-lain.
“Keragaman jenis ini adalah tantangan dalam penetapan pajak penghasilan untuk UMKM online. Pemerintah membutuhkan banyak pertimbangan yang mampu menangkap potensi pajak dengan kondisi – kondisi semacam tadi. Pemerintah juga harus memperjelas siapa pihak yang ditunjuk sebagai pemungut dan penyetor pajak transaksi online. Jangan sampai baik pihak yang menjadi wajib pajak maupun pemungut dan penyetor pajak terberatkan atas adanya peraturan pajak ini,” ungkapnya.
Pengenaan pajak penghasilan yang tidak memberatkan, kata Novani, akan memberi dampak positif terhadap pertumbuhan UMKM, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menyerap tenaga kerja serta mendisiplinkan UMKM dalam hal laporan keuangan.
Baru-baru ini Presiden Joko Widodo atau Jokowi menetapkan tarif baru PPh untuk UMKM konvensional sebesar 0,5 persen atas omzet maksimal Rp 4,8 miliar per tahun. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 23 tahun 2018 dan berlaku efektif per 1 Juli 2018.