TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) mengatakan kenaikan suku bunga acuan lebih dipicu faktor pelemahan kurs rupiah karena dana asing terus keluar. Di pasar modal, kata dia, aksi jual asing tercatat Rp 47 triliun sejak awal tahun 2018.
"Keluarnya modal asing bukan semata karena faktor global seperti Fed rate dan perang dagang tapi juga kinerja ekonomi domestik. Misalnya neraca perdagangan kembali defisit -1,52 miliar USD pada bulan Mei 2018, artinya ada 4 kali defisit sejak Januari," kata Bhima saat dihubungi Tempo, Senin, 25 Juni 2018.
Simak: Rupiah Melemah, Keran Ekspor Diminta Lebih Lancar
Selain itu, ia juga menyoroti lemahnya kinerja ekspor dan inflasi yang rendah justru menandakan permintaan konsumsi masyarakat sedang lesu, penjual tidak berani menaikkan harga barang. "Fundamental ekonomi yang lemah jadi indikasi stagnasi pertumbuhan ekonomi 5% masih akan terjadi dalam waktu yang lama," kata dia.
Menurut Bhima, kenaikan suku bunga acuan BI akhirnya akan menjadi serba salah. Jika efeknya tidak dinaikan, rupiah bisa menyentuh Rp 14.600 atau terburuk sejak 2016. Jika dinaikkan juga akan menghambat pertumbuhan kredit dan kontraksi ke sektor riil.
Baca: Minim Konversi Devisa Hasil Ekspor ke Rupiah
"Bank dengan cepat akan sesuaikan bunga kredit 25 sampai 50 basis poin, meskipun kondisi likuiditas masih longgar. Cost of borrowing pelaku usaha makin mahal, akhirnya menunda ekspansi bisnis,” ucap dia. Kondisi tersebut akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi tahun ini diprediksi stagnan 5,1 persen.
Jika rupiah terdepresiasi defisit perdagangan dan transaksi berjalan akan terus berlanjut. Hal itu bisa menurunkan kepercayaan investor sehingga lebih memilih negara lain dengan ketahanan eksternal yang lebih baik.
Baca: Stabilkan Rupiah, Pemerintah Akan Genjot Ekspor
"Jika net ekspor dan investasi menurun maka pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini diperkirakan hanya 5,1 persen melanjutkan stagnasi dibanding tahun-tahun sebelumnya," ujarnya.