TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor produk turunan sawit Indonesia pada Mei 2018 anjlok hingga US$ 41,1 juta dibandingkan April 2018. Kondisi ini merupakan imbas dari pembatasan penggunaan bahan bakar nabati atau biofuel yang bersumber sawit oleh Uni Eropa sampai bea masuk yang tinggi di India.
"Saya harus bilang kalau ekspor Crude Palm Oil (minyak sawit mentah) dan turunannya telah terpengaruh, mulai dari halangan perdagangan sampai kampanye negatif," kata Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto di Kantor BPS, Jakarta Pusat, Senin, 25 Mei 2018.
Baca juga: GIMNI Sebut Alasan Melesunya Ekspor Sawit
Menurut Suhariyanto, total ekspor sawit Indonesia pada Mei 2018 mencapai US$ 1,58 miliar atau turun 2,5 persen dari April 2018 yang mencapai US$ 1,62 miliar.
Penurunan ini, kata Suhariyanto, karena produk turunan sawit seperti lemak dan minyak nabati memiliki kontribusi terbesar kedua dari nilai ekspor nonmigas Indonesia sepang Januari hingga Mei 2018. Dari US$ 68,09 miliar ekspor nonmigas Indonesia, produk turunan sawit menyumbang 12,3 persen atau sekitar US$ 8,37 miliar. Kontribusi terbesar masih disumbang ekspor bahan bakar mineral sebesar 14,82 persen.
Simak pula: Genjot Ekspor Sawit, Indonesia Diminta Tembus Pasar Afrika Timur
Setelah melalui sekian perundingan, negara-negara anggota Uni Eropa pada 14 Juni kemarin menyetujui program pengurangan bertahap untuk sejumlah komponen pada biofuel, salah satunya sawit yang dianggap tidak linier dengan upaya pengendalian iklim. Program itu tertuang dalam Arahan Energi Terbarukan Uni Eropa atau EU's Renewable Energy Directive (RED II).
Kesepakatan ini dicapai setelah diadakan dialog antara Komisi Eropa, Parlemen Eropa, dan Dewan Uni Eropa. "Kesepakatan politik telah dicapai untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan di Eropa," kata Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Guérend, dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu, 16 Juni 2018.
Lihat pula: Masalah Lingkungan Ancam Ekspor Sawit Indonesia
Tak hanya itu, ekspor sawit ke India juga terganggu karena adanya tarif impor yang tinggi sebesar 7,5 sampai 15 persen. Sementara, tarif untuk produk turunan sebesar 15 sampai 25 persen. Tak sampai di situ, India masih berencana memperbesar tarif produk sawit dan turunannya, masing-masing hingga 45 persen dan 54 persen.
Secara akumulasi, nilai ekspor sawit sepanjang Januari hingga Mei 2018 juga turun hingga 15,66 persen dibanding periode yang sama pada 2017. Jika pada Januari-Mei 2017 mencapai US$ 9,92 miliar, maka tahun ini hanya US$ 8,37 miliar.