TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Kartika Wirjoatmodjo mengatakan kebijakan moneter Amerika Serikat tidak terlalu berdampak terhadap Indonesia. Kartika menanggapi soal nilai tukar rupiah yang menembus Rp 14.000.
"Saya rasa Indonesia termasuk yang tidak berdampak terlalu parah ya kalau kami lihat dibanding Turki dan Argentina, masih dalam range yang normal," kata Kartika saat ditemui di Kementerian Keuangan Jakarta, Senin, 25 Juni 2018.
Baca juga: Bank Indonesia Imbau Bank Terima Setoran Uang Logam
Menurut Kartika semua negara berkembang atau emerging market sedang melakukan penyesuaian terhadap kebijakan AS ini. Kebijakan bank sentral AS atau The Federal Reserve (The Fed) memang lebih agresif dari perkiraan awal, karena ekonomi AS yg membaik.
"Jadi semua emerging market harus menyesuaikan dengan kecepatan perubahan monetory policy di AS," ujar Kartika.
Baca juga: Rupiah Digital Tak Akan Menggantikan Uang Kartal dan Giral
Bank sentral AS menaikkan Fed Federal Reserve (FFR) sebesar 25 basis poin menjadi 1,75 persen hingga 2 persen dalam rapat Federal Open Market Committee (FOMC), Rabu, 13 Juni 2018. Kenaikan tersebut merupakan langkah kenaikan suku bunga kedua pada 2018.
Dalam situs resmi Bank Indonesia, Jakarta Interbank Spot Dollar Rate atau JISDOR mencatat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di angka Rp 14.102 pada penutupan Jumat, 22 Juni 2018. Angkat tersebut menunjukkan pelemahan 12 poin dari nilai sebelumnya, yaitu Rp 14.090 pada penutupan Kamis, 21 Juni 2018.
Sedangkan pada 22 Juni 2018, kurs jual US$ 1 terhadap rupiah, yaitu Rp 14.173 dan kurs beli Rp 14.031. Kartika yakin dengan respon yang dilakukan BI dan Kementerian Keuangan, ke depannya masih tetap bisa menjaga stabilitas rupiah.
Bank Indonesia bakal menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) berikutnya pada 27-28 Juni 2018. Dalam RDG terakhir yang berlangsung pada 30 Mei 2018, bank sentral mengerek BI 7-Day Repo Rate menjadi 4,75 persen.