TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan perang dagang bakal menjadi sentimen negatif untuk negara-negara di Asia, termasuk Indonesia. Hal tersebut dapat mempengaruhi minat investor yang dapat tertahan untuk berinvestasi ke negara berkembang.
"Ketidakpastian perang dagang (AS-Cina) juga menjadi sentimen negatif terutama bagi negara Asia. Imbasnya bukan saja pada ekspor tapi juga ancaman PHK (pemutusan hubungan kerja) di sektor penghasil bahan baku hingga barang penolong atau intermediaires goods," kata Bhima saat dihubungi, Kamis, 21 Juni 2018.
Baca: Perang Dagang AS Cina, Darmin: Indonesia Tidak Bisa Berbuat Banyak
Bhima mengatakan bahan baku atau raw materials yang dimaksud, misalnya sawit, karet, biji besi, timah dan sebagainya. Sedangkan barang penolong atau setengah jadi, yaitu kertas, kayu olahan, oleokimia, petrokimia, dan sebagainya.
Menurut Bhima, saat ini investor sedang mencermati data ekonomi domestik, khususnya terkait pergeseran median dot plot Fed rate atau titik plot ekspektasi anggota terhadap suku bunga. Pergeseran median dot plot Fed rate yang dimaksud yaitu dari 2,25 persen menjadi 2,5 persen pada rapat terakhir Federal Open Market Committee (FOMC).
Baca: Perang Dagang dengan AS, Cina Tegaskan Tidak Takut
Bhima menyebutkan, hal tersebut menjadi indikator bahwa kenaikan Fed rate bisa empat kali tahun ini. Seperti diketahui, bank sentral AS menaikkan Fed Federal Reserve (FFR) sebesar 25 basis poin menjadi 1,75 persen hingga 2 persen dalam rapat FOMC. Bhima melihat respons dari pelaku pasar sudah terjadi sejak US Dollar Index menembus 95,1 level tertinggi dalam 11 bulan terakhir. "Yield Treasury 10 tahun pun mencapai 2,93 persen mengakibatkan yield spread dengan SBN 10 tahun berpotensi kembali melebar," katanya.
Lebih lanjut Bhima mengatakan investor asing maupun domestik mulai berekspektasi terkait realisasi data data ekonomi yang akan dirilis. Bhima mengatakan beberapa data seperti neraca perdagangan bulan Mei diprediksi kembali mencatatkan defisit.
Lesunya ekspor dan kenaikan impor barang konsumsi menjelang Lebaran serta bengkaknya impor minyak, menurut Bhima, telah membuat neraca dagang menjadi tidak sehat. "Namun defisit diperkirakan tidak setinggi bulan April 2018 yang mencapai US$ 1,6 miliar."
Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyebut Indonesia tidak bisa berbuat banyak terhadap perang dagang yang terjadi antara dua negara adidaya, Amerika Serikat dan Cina. Meski, ia mengatakan tidak senang dengan adanya kondisi itu.
"Walaupun perang dagang itu merugikan semuanya, kita tidak bisa banyak berbuat, sebab antara Cina, Eropa dan Amerika saja mereka enggak bisa bicara. Kita cari saja keuntungan untuk kita," ujar Darmin di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Kamis, 21 Juni 2018.
Ketimbang memusingkan ihwal perang dagang itu, Darmin mengatakan Indonesia kini masih sibuk mengurusi dirinya sendiri. "Bahwa kita sejak 2-3 bulan lalu itu kursnya agak terganggu."