TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia siap menerbitkan sejumlah kebijakan pencegahan dan progresif guna menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Keputusan akan diambil pada Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 27-28 Juni 2018.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan sejumlah keputusan perlu diambil dalam menghadapi perkembangan baru arah kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, dan Bank Sentral Eropa, ECB. "BI siap menempuh kebijakan lanjutan," kata dia dalam keterangan di Jakarta, Selasa, 19 Juni 2018.
Simak: Bank Indonesia Jelaskan Alur Penguatan Rupiah
Sebelumnya, nilai tukar rupiah sempat menanjak hingga Rp 14.200 pada akhir Mei 2018 yang terpengaruh oleh kenaikan suku bunga The Fed. Namun mendekati lebaran dan sesudahnya, nilai tukar kembali kembali menguat. Dari catatan BI pada hari ini, rupiah berada di level Rp 13.972 (kurs jual) dan Rp 13.832 (kurs beli).
Untuk menjaga nilai tukar ini, BI siap menerbitkan beberapa kebijakan. Pertama, kebijakan yang akan diambil BI dapat berupa kenaikan suku bunga yg disertai dengan relaksasi kebijakan LTV atau Loan to Value. LTV merupakan rasio kemampuan bank dalam menyalurkan kredit kepada nasabah untuk kepemilikan rumah.
Baca: Bank Indonesia Masih Godok Standardisasi QR Code
Perry mengatakan kebijakan ini diambil untuk mendorong tumbuhnya sektor perumahan. Meski begitu, toh relaksasi atau pelonggaran kebijakan LTV sudah dua kali dilakukan BI pada 2016. Tapi kenyataannya, bank yang memanfaatkan kebijakan ini masih sangat minim.
Kedua, BI akan menerapkan kebijakan intervensi ganda. Lewat kebijakan ini, BI akan menyuplai pasar valuta asing dan membeli surat berharga negara (SBN) dari pasar sekunder yang dijual asing dalam waktu bersamaan. Kebijakan ini termasuk janji yang disampaikan Perry saat dilantik di Mahkamah Agung pada 24 Mei 2018.
Simak: Bank Indonesia Siap Naikkan Suku Bunga Terbuka
Ketiga, BI akan tetap menerapkan likuiditas longgar. Kebijakan serupa juga telah dilakukan BI saat memutuskan untuk melonggarkan likuiditas perbankan sekitar Januari 2018. Salah satunya, BI menetapkan Giro Wajib Minimum (GWM) rupiah bank umum konvensional sebesar 6,5 persen dari total Dana Pihak Ketiga (DPK). Porsi GWM rata-rata ini diperlonggar dari 1,5 persen menjadi 2 persen.
Dengan sejumlah kebijakan ini, Bank Indonesia meyakini pasar aset keuangan Indonesia akan tetap kuat dan menarik bagi investor. Dengan demikian, Perry berharap stabilitas ekonomi tetap terjaga. "Sehingga, pertumbuhan ekonomi akan meningkat," kata dia.