TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Development of Economics and finance (lNDEF) melakukan sebuah survei mengenai order fiktif yang dilakukan dalam industri ride-hailing atau transportasi online berbasis aplikasi. Direktur Program Indef, Berly Martawardaya mengatakan dalam survei tersebut Indef menemukan bahwa sebanyak 61 persen pengemudi ojek online mengetahui rekannya melakukan order fiktif.
"Dari jumlah tersebut ternyata paling banyak dilakukan oleh pengemudi ride-hailing yang menggunakan sepeda motor," kata Barely saat menyampaikan hasil survei dalam acara diskusi publik bertajuk "Mengurai Fenomena Order Fiktif di Transportasi Online" di Kantor Indef, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis, 7 Juni 2018.
Baca: Demo Ojek Online Tuntut Kenaikan Tarif, Begini Pesan Kapolda
Barely menjelaskan survei ini dilakukan dengan metode convenient sampling dan melibatkan sebanyak 516 pengemudi sebagai responden. Metode tersebut dipilih karena Indef tak bisa menemukan jumlah populasi yang pasti pengemudi transportasi online di Indonesia. Survei dilakukan sepanjang 16 April 2018 hingga 16 Mei 2018 di Jakarta, Bogor, Semarang, Bandung dan Yogyakarta.
Baca: Jadi Korban Hoax Jaringan ISIS, Ojek Online Desak Polisi Cari Pelaku
Menurut Barly, hasil survei juga menemukan bahwa ada sebanyak 54 persen ojek online melakukan oder fiktif untuk mengejar insentif yang dijanjikan perusahaan bila mencapai target. Barly juga menjelaskan bahwa melakukan tindakan curang order fiktif dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak GPS palsu.
"Dalam hal ini untuk memalsukan perjalanan dan menyesaikan perjalanan tanpa harus benar-benar membawa penumpang dan mencurangi sistem," kata Barly.
Baca: Jadi Korban Hoax Jaringan ISIS, Ojek Online Desak Polisi Cari Pelaku
Menurut Barly, dari hasil survei ditemukan pula bahwa hampir semua mitra pengemudi sebanyak 81 persen mengaku mendapat order fiktif setiap minggunya. Selain itu, hasil survei juga menemukan bahwa satu dari tiga mitra pengemudi ojek online atau sekitar 37 persen mengaku mendapat order fiktif setiap harinya.
Barly menuturkan bahwa praktik order fiktif atau yang dikenal sebagai opik ini dinilai merugikan perusahaan ride-hailing atai operator platform. Selain itu, hal ini juga memberikan dampak pada penghasilan para mitra pengemudi yang bekerja dengan jujur juga terdampak oleh perilaku ini.