TEMPO.CO, Subang - Pemerintah menyetujui kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) nonsubsidi yang dijual oleh Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) swasta. Kenaikan itu berkisar mulai Rp 100 hingga Rp 600 per liter untuk jenis bensin yang berbeda-beda.
"Sudah saya teken kemarin dan mulai berlaku hari ini," kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Djoko Siswanto saat meninjau stok premium SPBU 33.41201 di Rest Area Kilometer 102 di ruas Tol Cikampek Palimanan, Subang, Jawa Barat, Jumat, 1 Juni 2018.
Baca: Mudik Lebaran, Pertamina Upayakan Tak Ada Antrean Panjang di SPBU
Keputusan ini diambil pemerintah menyusul adanya permintaan dari ketiga perusahaan penyalur bensin tersebut. Ketiganya mengajukan kenaikan harga untuk periode 1 Juni 2018 hari ini.
Ada tiga perusahaan yang mengajukan kenaikan harga dan disetujui yaitu Total, Shell, AKR. Menurut Djoko, range kenaikan itu terjadi hampir di semua produk dengan pertimbangan masing-masing.
Salah satu yang menjadi pertimbangan adalah lokasi distribusi bensin yang terletak di daerah yang jauh. Untuk Kalimantan, kata Djoko mencontohkan, kenaikan bisa mencapai Rp 600 per liter karena jarak pengangkutan yang cukup jauh dan berat.
Meski perusahaan-perusahan swasta telah mengerek harga BBM nonsubsidi, hal berbeda terjadi di PT Pertamina (Persero). Perusahaan pelat merah ini belum berencana menaikkan harga BBM nonsubsidinya.
Direktur Logistik, Supply Chain, dan Infrastruktur PT Pertamina, Gandhi Sriwidodo, mengatakan, perusahaannya masih fokus pada penyaluran bensin di masa mudik terlebih dahulu. "Kami tidak ingin memberatkan masyarakat," tuturnya.
Sebelumnya, Kementerian ESDM mewajibkan badan usaha niaga BBM meminta persetujuan pemerintah bila ingin menaikkan harga BBM jenis umum atau nonsubsidi tersebut. Alasannya, pemerintah ingin menjaga tingkat inflasi dan daya beli masyarakat, di tengah tren harga minyak dunia yang terus beranjak naik dan berpotensi mendorong harga BBM jenis umum terus naik.
Selain itu, Kementerian Energi bakal menghapus batas bawah margin badan usaha niaga BBM yang sebelumnya ditetapkan minimal 5 persen dan maksimal 10 persen. Kementerian Energi yakin kebijakan itu tidak akan mengganggu iklim investasi sektor hilir migas Indonesia.