TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudistira, mengatakan penguatan rupiah dari Perry effect tidak bertahan lama. Alasannya, dinamika ekonomi terlalu cepat berubah.
"Kebijakan bunga acuan yang naik kemarin tidak mempan menahan pelemahan rupiah," kata Bhima saat dihubungi Tempo, Rabu, 30 Mei 2018.
Bhima menjelaskan, ada kemungkinan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat akan stagnan di kisaran 13.900-14 ribu. Menurut dia, faktor global menjadi penghambat laju penguatan rupiah.
Simak: Rupiah Melemah, Presiden Jokowi Pusing
Faktor-faktor tersebut, ujar Bhima, disebabkan oleh instabilitas politik dan ancaman krisis keuangan di Italia. "Selain itu, Argentina dan Turki dikhawatirkan memicu krisis sistemik global," tuturnya.
Sebelumnya, penguatan rupiah yang signifikan pada hari Jumat lalu lebih disebabkan oleh faktor domestik, terutama yang berkaitan dengan ekspektasi kuat terhadap Gubernur BI yang baru. Performa pergerakan nilai tukar rupiah pada Jumat lalu jauh lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi pergerakan mata uang euro dan pound sterling yang terdepresiasi terhadap dolar Amerika.
Berdasarkan data Bank Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Rp 14.032. Menurut Bhima, Bank Indonesia belum mampu menahan gejolak rupiah karena faktor ketahanan ada di pemerintah.