TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah produsen yang bergantung pada bahan baku impor bersiap menaikkan harga lantaran rupiah yang bergerak melemah di luar prediksi. Kepala Komite Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Vincent Harijanto mengatakan industrinya cukup terpukul dengan kurs rupiah yang kini menembus level 14.000 per dolar AS.
“Kami memperkirakan kurs tahun ini 13.000 per dolar AS, ternyata sekarang 14.000, berarti ada perbedaan 1.000, itu mempengaruhi kenaikan harga bahan baku kami 7-8 persen,” ujarnya, kepada Tempo, Jumat 25 Mei 2018.
Vincent mengatakan ketergantungan industri farmasi terhadap bahan baku aktif impor sangat tinggi, yaitu mencapai 95 persen. Selain bahan baku utama, industri juga membutuhkan bahan baku penolong seperti bahan kemasan dan lainnya, untuk akhirnya diproduksi menjadi obat-obatan jadi. “Sejak kurs melemah dampaknya tidak hanya ke kenaikan bahan baku, diikuti bahan kemas, sampai akhirnya menghitung ke harga obat jadi,” katanya.
Simak: Dolar Masih Berkuasa di Area Positif, Rupiah Terus Melemah
Vincent menjelaskan di satu sisi pihaknya tak dapat semudah itu memutuskan kenaikan harga. Dilema itu disebabkan karena adanya kontrak jangka panjang tahunan dengan pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tentang suplai obat-obatan. “Ini sulit karena pasti pemerintah rasanya tidak mau naik, karena harga yang di kontrak sudah dipatok, jadi bagi kami industri prinsipnya sekarang selama masih ada margin keuntungan sedikit apa pun tidak apa-apa, berkorban,” ujarnya.
Namun, industri pun khawatir jika pelemahan kurs terus berlanjut maka akan semakin menggerus keuntungan dan mempengaruhi harga pokok penjualan. “Apakah industri mau suplai dengan kondisi rugi, kalau sudah begini kan berarti kami benar-benar mengalami kesulitan.” Vincent menuturkan dari pihak eksportir bahan baku yang kebanyakan berasal dari Cina dan India tak dapat memberikan kepastian harga, sehingga sangat bergantung pada gejolak kurs.
“Mereka nggak akan berani lock harga untuk jangka panjang dengan kami, karena di sana juga ada gejolak kurs, belum lagi mereka juga produksi mulai dari bahan intermediate, mereka terpengaruh pada pihak starting materialnya,” ucapnya. Vincent berharap rupiah dapat segera berbalik menguat atau setidaknya berhenti bergejolak. “Stabil saja sudah bagus, tapi lebih baik lagi menguat, yang penting kami bisa hitung dan fiksasi harganya.”
Direktur Eksekutif Indonesian Iron and Steel Industry (IISIA) Hidayat Triseputro mengeluhkan persoalan yang sama terkait dengan fluktuasi nilai tukar beberapa waktu terakhir. Industri besi baja harus membayar biaya impor yang berkali lipat lebih mahal dari biasanya. Sebagai kompensasi atas kenaikan ongkos itu, industri pun mulai bersiap-siap untuk menaikkan harga, jika kurs rupiah tak kunjung membaik.
“Sejauh pasar bisa menyerap akan kami bebankan ke kenaikan harga di jenis-jenis produknya, tapi biasanya pasar itu ada limit, kemampuan serapnya juga terbatas kalau rupiah terlalu tinggi,” ujarnya. Sehingga, konsumen kata dia biasanya memilih untuk menahan pembelian untuk sementara, atau memaksimalkan kontrak lama dengan harga yang sudah pasti.
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman mengatakan industri akan segera mengevaluasi kemungkinan untuk menaikkan harga pasca lebaran nanti. Menurut dia, industri saat ini sudah cukup melakukan antisipasi fluktuasi kurs rupiah dan dolar dengan impor stok bahan baku sejak beberapa bulan lalu. “Tapi kalau situasi ini terus berlanjut hingga penutupan kuartal dua, bisa jadi kuartal tiga kami akan menaikkan harga,” ucapnya.
Adhi mengatakan industri makanan dan minuman saat ini masih banyak mengandalkan bahan baku impor, seperti susu, garam, tepung terigu, hingga gula. Dia menambahkan kenaikan harga bahan baku bisa mencapai 3-7 persen. “Kalau terus melemah omzet kami juga bisa tergerus.”