TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti tampak berapi-api saat memberikan sambutan dalam diskusi Revisi Undang-Undang (RUU) Perikanan. Menurut Susi, saat ini tinggal kekayaan laut Indonesia yang masih tersisa sehingga RUU Perikanan harus dibuat agar dapat menjaga aset negara.
"Minyak sudah habis, mengelola juga kita tidak mampu. Ini (laut) terakhir sumber daya yang masih di tangan kita," ujarnya di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Senin, 21 Mei 2018.
Dia menuturkan jangan sampai laut di Indonesia dibuat kavling, seperti tambang-tambang lain. Sebab, kata dia, Indonesia menjadi negara kesatuan karena lautnya. "Saya dedikasikan komitmen fear for nothing, shame of nothing," ucapnya.
Baca: Susi Pudjiastuti Harap Kata Penenggelaman Tidak Direvisi di UU
Susi meminta kata "tenggelamkan" dalam RUU tersebut tidak direvisi. Dia juga mengatakan peraturan mengenai cantrang untuk melindungi nelayan kecil. "Kalau pakai kapal besar, itu bukan nelayan namanya, tapi ABK (anak buah kapal)," tuturnya.
Kata "tenggelamkan" yang kerap ia ucapkan, Susi menambahkan, harus dimasukkan ke RUU Perikanan. Sebab, di undang-undang sebelumnya, peraturan itu belum ada. Itu yang membuat banyaknya kapal asing pencuri ikan berseliweran di perairan Indonesia.
Setelah peraturan menenggelamkan kapal asing dieksekusi, Susi berujar tujuh ribu kapal asing tidak berani melaut di perairan Indonesia. Dia meyakini para pemilik kapal akan mencari celah untuk melakukan penangkapan ikan ilegal lagi.
Susi menjelaskan, dengan ditenggelamkannya ratusan kapal asing pencuri ikan, saat ini banyak nelayan kecil mendapatkan ikan di laut. Kemudian perindustrian perikanan juga makin naik. "Atas keseriusan ini, kita ingin revisi UU Perikanan," katanya.
Dalam Undang-Undang Perikanan sebelumnya, kata Susi Pudjiastuti, kapal asing diperbolehkan melintas di perairan Indonesia sambil menebar jaring. "Free navigating boleh, tapi kamu nyebar jaring, itu sama saja nyolong," ujarnya.