TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia berfokus menjaga defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) agar tetap terjaga. Terlebih, pasca pengumuman neraca perdagangan April 2018 yang mengalami defisit hingga US$ 1,63 miliar, atau yang terdalam sejak 2014. Hal itu dikarenakan laju impor yang lebih tinggi dibandingkan ekspor, berbanding US$ 16,09 miliar dengan US$ 14,47 miliar. Lonjakan tajam impor dipandang sebagai dampak dari peningkatan kegiatan produksi dan investasi, sehingga tak perlu dikhawatirkan.
“Kami meyakini kinerja neraca perdagangan akan membaik seiring berlanjutnya pemulihan ekonomi dunia dan harga komoditas global yang tetap tinggi, sehingga pada akhirnya akan mendukung pertumbuhan ekonomi juga ketahanan CAD,” ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Agusman Zainal, Rabu 16 Mei 2018. Bank sentral optimistis CAD akan dijaga stabil di bawah batas aman 3 persen, atau berada di kisaran 2,1-2,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Ekonom Bank Permata Josua Pardede berujar lebih tingginya laju impor dibandingkan ekspor yang konsisten dapat mendorong pelebaran defisit neraca transaksi berjalan. Tahun ini, defisit diprediksi dapat melebar dibandingkan tahun lalu sebesar 1,7 persen terhadap PDB. “Pemerintah perlu berupaya mendorong kinerja ekspor khususnya barang manufaktur, dengan mendorong sektor industri pengolahan domestik,” katanya.
Simak: Bank Indonesia Siap Naikkan Suku Bunga Terbuka
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang memiliki surplus CAD, maka nilai tukarnya cenderung lebih kuat atau resilience. Jika transaksi berjalan mengalami defisit yang terlalu besar, maka yang dibutuhkan adalah transaksi finansial yang tinggi untuk menopang suplai valas. “Jika transaksi finansial tidak mencukupi, maka simpanan di cadangan devisa yang akan tergerus, kalau kondisi itu terjadi berarti rupiah akan mengalami tekanan karena kebutuhan dolar AS otomatis naik,” ucapnya.
Dia memprediksi hingga akhir tahun tak menutup kemungkinan, CAD akan mendekati kisaran 2,5-2,7 persen terhadap PDB. “Kuncinya menekan dana asing keluar dan memperkuat kinerja ekspor, sehingga neraca dagang kembali surplus.” Adapun hingga triwulan 1 2018, defisit transaksi berjalan tercatat sebesar US$ 5,5 miliar atau 2,1 persen terhadap PDB.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menuturkan selain volatilitas rupiah, dampak lain dari pelebaran CAD adalah menurunnya daya saing perdagangan barang dan jasa Indonesia. Dampak panjang dari kondisi tersebut adalah pertumbuhan ekonomi yang bisa terhambat. “Kinerja ekspor kita kan selama ini menjadi penopang penting pertumbuhan, kalau berkurang atau negatif dibandingkan tahun lalu, pemerintah harus mencari cara lain untuk mendorong pertumbuhan, butuh upaya ekstra,” ujarnya. Di antaranya menggenjot pertumbuhan konsumsi rumah tangga serta investasi lebih keras lagi, selain menaikkan Bank Indonesia.
GHOIDA RAHMAH | AHMAD FAIZ