TEMPO.CO, Jakarta - Presiden RI Joko Widodo alias Jokowi menyinggung pengelolaan bahan bakar minyak (BBM) di era pemerintahan sebelumnya. Jokowi mempertanyakan pemerintahan sebelumnyan yang tak mampu mengimplementasikan BBM satu harga di seluruh Indonesia dengan anggaran subsidi BBM mencapai Rp 340 triliun.
Jokowi tak menyebut siapa presiden yang dimaksud. Namun, komentar Jokowi justru menimbulkan reaksi Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, mengatakan kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) Jokowi dan SBY sama-sama memiliki kelemahan dan kelebihan. Di era Jokowi, subsidi energi dipangkas 70 persen lebih selama tiga tahun pertama.
Akan tetapi, kebijakan itu hanya memindahkan beban anggaran ke PT Pertamina. "Akibatnya potential loss (potensi kerugian) Pertamina cukup besar," kata Bhima saat dihubungi Tempo, Rabu, 16 Mei 2018.
Baca: Jokowi Optimistis Angka Kemiskinan Turun: Insya Allah Satu Digit
Menurut Bhima, potensi kerugian Pertamina mencapai Rp 18,9 triliun per tahun akibat BBM penugasan dan BBM satu harga. Alhasil, Pertamina harus mengurangi 50 persen pasokan premium di Jawa, Madura, dan Bali.
Potensi kerugian itu berpengaruh pada penurunan jumlah wilayah kerja (WK) eksplorasi. Bila hal ini terus berlanjut, Bhima memperkirakan ancaman krisis minyak karena produksi turun bisa terjadi 10-15 tahun lagi.
Sementara saat kepemimpinan SBY, subsidi BBM tergolong besar tapi tidak tepat sasaran. Padahal, sebagian anggaran subsidi itu bisa digunakan untuk kegiatan produktif seperti pembangunan infrastruktur. "Kelebihan Jokowi sebagian subsidi dipangkas untuk infrastruktur," ujar Bhima.
Walau begitu, SBY mampu menjaga daya beli masyarakat. Buktinya, pertumbuhan ekonomi di pemerintahan SBY sebesar enam persen sempat ditopang konsumsi rumah tangga yang menguat.