TEMPO.CO, Jakarta - Dimulainya era reformasi tak lepas dari penolakan rakyat atas keputusan Presiden Soeharto yang tiba-tiba pada 4 Mei 1998 menaikkan harga bahan bakar minyak atau BBM setelah puluhan tahun dipatok tak berubah. Pemerintah memutuskan menaikkan harga premium, tak tanggung-tanggung hingga 71,43 persen dari Rp 700 menjadi Rp 1.200 per liter karena mengikuti saran Dana Moneter Internasional atau IMF sebagai langkah memangkas subsidi energi.
Tak hanya harga BBM, Soeharto melalui Menteri Pertambangan Kuntoro Mangunsubroto saat itu juga harus mengumumkan kenaikan tarif dasar listrik dan tarif kendaraan umum. Resep IMF itu diyakini bakal jadi obat mujarab menghalau krisis moneter yang menerpa negara-negara Asia--termasuk Indonesia--yang juga telah berimbas pada defisit anggaran yang sangat besar.
Keputusan kenaikan harga BBM yang diumumkan pada siang hari itu merupakan pertama kalinya yang dibuat pemerintah Orde Baru tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Walhasil kebijakan itu semakin memicu kemarahan massa dalam hal ini mahasiswa dan juga para anggota legislatif. Bentrokan pun menjadi tak terelakkan.
Baca: 20 Tahun Reformasi: Ekonomi Limbung Diguncang Krisis
Sejak saat itu, hingga kini kebijakan energi selalu menjadi sorotan publik. Siapapun presidennya, keputusan terkait harga BBM selalu ditanggapi pro kontra. Terlebih kondisi BBM di dalam negeri yang masih tergantung pada impor, membuat fluktuasi harga minyak mentah menjadi kiblat yang selalu membuat ketar-ketir karena kebijakan subsidi harus dijalankan.
Meski begitu, Presiden Joko Widodo bergeming. Pada 18 Oktober 2016, Jokowi mencanangkan Program BBM Satu Harga di Yahukimo, Papua, dengan landasan hukum Peraturan Presiden No. 191 tahun 2014 dan Peraturan Menteri ESDM No. 39 Tahun 2016.
Kebijakan BBM Satu Harga ini bertujuan untuk menciptakan harga bahan bakar yang sama di tiap daerah. Jika sebelumnya harga BBM di sejumlah wilayah di Papua dan Papua Barat bisa mencapai Rp 100 ribu per liter, setelah ada program tersebut harga Premium dan Solar bisa didapat masing-masing Rp 6.450 dan Rp 5.150 per liter.
Cita-cita menciptakan energi berkeadilan ini pula yang kemudian membuat Presiden Jokowi kemarin mempertanyakan sikap sejumlah masyarakat di Pulau Jawa yang selalu memprotes kenaikan harga bahan bakar minyak. "Kita sering di Jawa, bensin naik Rp 500 perak saja demo 3 bulan. Bensin naik Rp 1.000 demonya 6 -7 bulan," katanya dalam acara penutupan workshop nasional anggota DPRD PPP di Hotel Mercure Ancol, Jakarta Utara, Selasa, 15 Mei 2018.
Jokowi pun membandingkan kondisi tersebut dengan masyarakat di Papua. Harga BBM di sana, kata Jokowi, selama puluhan tahun mencapai Rp 60 ribu, bahkan bisa mencapai Rp 100 ribu per liter jika cuaca sedang buruk. “Tetapi warga Papua tidak pernah demo.”
Baca: 20 Tahun Reformasi: Resep IMF, Obat Krisis 1997-1998?
Mengacu peta jalan program BBM Satu Harga, hingga 2019 akan ada 160 titik daerah 3 T atau yang sifatnya tertinggal, terpencil, dan terluar untuk mengakses BBM. Sepanjang 2017 tercatat sudah ada 57 lokasi yang menerapkan BBM satu harga.
Distribusi BBM yang semakin merata juga diharapkan bisa berkontribusi positif terhadap penurunan harga pokok hingga mendorong perekonomian industri kecil. Adapun dalam menjalankan program ini, Pertamina mengalokasikan biaya distribusi sekitar Rp 1 triliun per tahun.
Kendati banyak yang mengkhawatirkan tentang kondisi keuangan perusahaan pelat merah itu karena besarnya anggaran yang harus disiapkan, tapi Pertamina jalan terus. Vice President Retail Fuel Marketing Pertamina, Jumali, menyebutkan sepanjang 2018 perusahaan menargetkan 67 titik yang menerapkan Program BBM Satu Harga. “Diharapkan 67 itu selesai sebelum akhir tahun. Dan ini masih on track,” ujarnya.
Pengamat energi dari Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, menyoroti tak hanya untuk Program BBM Satu Harga, Pertamina juga sudah terbebani dengan harus menjual Premium dan Solar yang notabene tak lagi disubsidi tapi harganya tak boleh naik. Sepanjang Januari-Februari 2018, perusahaan itu mengaku rugi dari penjualan BBM jenis Pertalite seharga Rp 7.800 per liter. Harga tersebut belum mencapai harga keekonomian yang seharusnya sebesar Rp 8.000 per liter.
Di samping itu, Pertamina telah menanggung kerugian dari penyaluran Premium dan Solar bersubsidi sebesar Rp 5,5 triliun selama Januari-Februari 2018. Jika dikurangi dengan keuntungan yang diperoleh dari penjualan BBM nonsubsidi, total rugi bersih BUMN migas pada bulan itu mencapai Rp 3,9 triliun.
Pemerintah, menurut Komaidi, seharusnya ada ruang untuk menaikkan harga BBM, tapi malah menggeser beban itu ke Pertamina. “Seharusnya BBM naik beberapa kali tapi ditunda dan digeser ke Pertamina." Terlebih saat ini tren harga minyak mentah terus naik dan kurs rupiah melemah.
Sementara itu, ekonom dari Indef, Bhima Yudhistira meminta jajaran direksi Pertamina menekan kerugian perusahaan dengan membuka negosiasi mengenai kebijakan penyaluran BBM Satu Harga. Pemerintah dinilai harus mau menambah subsidi BBM sehubungan dengan penyaluran BBM satu harga ke seluruh Indonesia.
Bhima juga menekankan agar keberpihakan pemerintah sangat mutlak agar kebijakan subsidi energi khususnya BBM ini tak selalu menjadi bom waktu di tiap pemerintahan yang berkuasa. Pasalnya, keadilan energi juga harus dibarengi dengan good corporate governance agar kesehatan anggaran pemerintah dan perusahaan negara juga terjaga. Hal ini juga yang diharapkan dapat terus menjadi semangat reformasi ekonomi.
ADAM PRIREZA | ZARA AMELIA | FRISKI RIANA | BUDIARTI UTAMI PUTRI