TEMPO.CO, Jakarta -Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY menanggapi komentar Presiden Joko Widodo atau Jokowi ihwal kebijakan bahan bakar minyak di era kepemimpinannya. Menurut SBY, Jokowi mengkritik dan menyalahkan dia mengenai kebijakan subsidi dan harga bahan bakar minyak.
Menanggapi kritikan tersebut, SBY meminta kader Partai Demokrat dan bekas menterinya bersabar. "Saya minta para mantan Menteri dan pejabat pemerintah di era SBY, para kader Demokrat dan konstituen saya, TETAP SABAR. *SBY*," katanya melalui akun twitter pribadinya, Selasa, 15 Mei 2018.
Menurut SBY, dia mengikuti percakapan publik termasuk di media sosial. "Saya mengikuti percakapan publik, termasuk di media sosial, menyusul pernyataan Presiden Jokowi yang salahkan kebijakan SBY 5 tahun lalu. *SBY*," cuit SBY.
SBY menilai, bersatu padu dan rukun merupakan yang terpenting. Presiden Indonesia dua periode 2004-2014 itu meminta untuk menghindari cekcok dan memberi contoh yang tak baik kepada rakyat. "Malu kita. *SBY*," tulis SBY.
Baca: Jokowi Optimistis Angka Kemiskinan Turun: Insya Allah Satu Digit
Salah satu sindiran Jokowi tentang kebijakan BBM di pemerintahan sebelumnya disampaikan pada Desember 2016. Jokowi mengatakan kebijakan subsidi BBM sebesar Rp 300 triliun pemerintahan sebelumnya didiamkan. Sementara dia yang mengalokasikan Rp 800 miliar membuat heboh.
Menurut ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) Jokowi dan SBY sama-sama memiliki kelemahan dan kelebihan. Di era Jokowi, subsidi energi dipangkas 70 persen lebih selama tiga tahun pertama.
Akan tetapi, kebijakan itu hanya memindahkan beban anggaran ke PT Pertamina. "Akibatnya potential loss (potensi kerugian) Pertamina cukup besar," kata Bhima saat dihubungi, Rabu, 16 Mei 2018.
Menurut Bhima, potensi kerugian Pertamina mencapai Rp 18,9 triliun per tahun akibat BBM penugasan dan BBM satu harga. Alhasil, Pertamina harus mengurangi 50 persen pasokan premium di Jawa, Madura, dan Bali.
Potensi kerugian itu berpengaruh pada penurunan jumlah wilayah kerja (WK) eksplorasi. Bila hal ini terus berlanjut, Bhima memperkirakan ancaman krisis minyak karena produksi turun bisa terjadi 10-15 tahun lagi.
Sementara saat kepemimpinan SBY, subsidi BBM tergolong besar tapi tidak tepat sasaran. Padahal, sebagian anggaran subsidi itu bisa digunakan untuk kegiatan produktif seperti pembangunan infrastruktur. "Kelebihan Jokowi sebagian subsidi dipangkas untuk infrastruktur," ujar Bhima.
Walau begitu, SBY mampu menjaga daya beli masyarakat. Buktinya, pertumbuhan ekonomi di pemerintahan SBY sebesar enam persen sempat ditopang konsumsi rumah tangga yang menguat.
YUSUF MANURUNG I LANI DIANA