TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Strategi dan Kepala Makroekonomi PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat berpendapat pelemahan rupiah belakangan ini terutama disebabkan oleh faktor eksternal. Sedikitnya ada tiga faktor eksternal tersebut. Salah satunya kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang memangkas pajak korporasi.
"Sehingga berpeluang bagi bank sentral AS (The Fed) dalam menaikkan suku bunga," kata Budi, seperti dikutip dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 15 Mei 2018.
Baca: Kurs Rupiah di Pasar Spot Melemah Rp 14.019 per Dolar AS
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat menembus angka Rp 14 ribu sejak dua pekan lalu. Pemerintah, baik Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution maupun Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo, menyampaikan masyarakat tak perlu khawatir dengan pelemahan rupiah itu.
Selain akibat keputusan Trump, rupiah tertekan karena pembayaran dividen berupa valuta asing terjadi di kuartal kedua. Menurut Budi, korporasi nasional mengumpulkan kebutuhan valuta asing sebagai pembayaran dividen ke luar negeri.
Faktor selanjutnya, dana asing terus keluar (capital outflow) dari pasar obligasi dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebagai dampak pelemahan rupiah. Budi melanjutkan, secara global, dugaan Fed Rate naik lebih banyak memicu kenaikan yield T-bond. "Yang selanjutnya berisiko memicu kenaikan yield obligasi banyak naik, akibat aksi ambil untung investor asing," ujar Budi.
Menurut Budi, dolar Amerika Serikat menguat terhadap sejumlah kurs mata uang asing. Misalnya, mata uang peso Argentina terkoreksi 24,6 persen (year-to-date/ytd), peso Filipina terkoreksi 4,93 persen (ytd), rupee India melemah 5,42 persen (ytd), dan mata uang Brasil melemah 8,69 persen (ytd). "Secara global, koreksi rupiah tak terlalu dalam dibanding sejumlah mata uang negara berkembang lainnya," katanya.