TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia Tito Sulistio menyatakan pasar modal Indonesia tahan banting terhadap aksi terorisme. Meski ada koreksi pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) namun dari sisi frekuensi perdagangan masih terjaga normal. "Saat bom Thamrin hari pertama juga turun," kata Tito di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin 14 Mei 2018.
Tito menyatakan tiap kali terjadi aksi terorisme, seperti ledakan bom, IHSG kerap mengalami koreksi. Namun ia mengingatkan yang perlu diperhatikan bukan koreksi IHSG tapi likuiditas pasar atau frekuensi perdagangan. Menurut dia, frekuensi perdagangan BEI yang ada di kisaran 300 ribu transaksi saat ini terbilang bagus. "Kepercayaan investor hilang bila likuiditas anjlok," ucapnya.
Pasca ledakan bom di Surabaya, Jawa Timur, IHSG kemarin ditutup melemah 9,68 poin atau 0,16 persen menjadi 5.947,16 dengan frekuensi perdagangan menyentuh 333.405 transaksi. Saat terjadi teror bom di kawasan Sarinah, Jakarta, 14 Januari 2016 IHSG pun melemah 24 poin (0,53 persen) menjadi 4.513,18. IHSG malah menguat 0,17 persen menjadi 5.713 usai ledakan bom di Kampung Melayu, Jakarta, Kamis, 25 Mei 2017. "Koreksi terbesar IHSG itu waktu Bom Bali I, yaitu sebesar 10 persen," kata Tito.
Ihwal keamanan, Tito menambahkan, perhatian utama BEI ada pada sistem perdagangan dan penjagaan pusat data. Belajar dari peristiwa runtuhnya selasar gedung BEI beberapa waktu lalu, otoritas bursa sudah memindahkan sistem perdagangan ke lokasi yang rahasia dan meningkatkan pengamanan. Sementara pengamanan dari sisi gedung, lanjutnya, bursa menyerahkan sepenuhnya ke pengelola gedung.
Simak: Sri Mulyani Dorong Anak Muda Akses Informasi Pasar Modal
Salah satu emiten BEI, PT Surya Pertiwi Tbk menyatakan tidak ada dampak dari aksi terorisme terhadap kinerja perusahaan. Direktur Surya Pertiwi Irene Hamidjaja menyatakan hal itu bisa dilihat dari harga saham perusahaan yang naik saat menggelar pencatatan perdana (initial public offering), yaitu sebesar 10,34 persen atau 120 poin ke level Rp 1.280. "Buktinya pergerakan saham kami tak terpengaruh," kata Irene.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Akbar Djohan mengatakan aksi terorisme berpeluang memberi dampak terhadap distribusi barang. Kendati belum bisa menghitung kerugian dari sisi ekonomi, ia menilai, dampak yang dapat dirasakan langsung ialah tertundanya pengiriman barang. "Dampak tidak lama (penundaannya)," kata dia saat dihubungi Tempo, kemarin.
Menurut Akbar, ada barang tertentu yang biasanya terdampak ketika aksi terorisme terjadi, yaitu terlambatnya distribusi bahan-bahan kimia dan turunannya. Ia menyatakan meski terjadi keterlambatan, pihak yang terlibat seperti pengimpor dan penerima barang, sudah saling memahami. Bahkan, ucapnya, anggota ALFI makin meningkatkan pengawasan distribusi barang pasca terjadi aksi terorisme. "Kami jadi hati-hati kalau terima order," ucapnya.
Ketua Dewan Pengurus ALFI Jawa Timur Hengky Pratoko mengatakan belum ada dampak dari aksi bom terhadap distribusi barang dari dan menuju pelabuhan atau pusat logistik di Surabaya. Menurut dia, aktivitas distribusi logistik masih berjalan normal. Meski demikian, ia mengkhawatirkan dampak psikologis kepada pelaku pasar yang menyebar melalui aplikasi pesan singkat Whatsapp.
Menurut dia, tidak sedikit informasi yang tersebar lewat Whatsapp yang harus dipastikan kebenarannya, seperti misalnya, sepinya kondisi pasar. Hengky berharap informasi itu tidak dipercaya karena bila terjadi (pasar sepi) akan membuat arus barang terganggu.