TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Eksekutif Freeport McMoran Richard Adkerson menyatakan tuduhan pemerintah soal perusahaannya melanggar aturan lingkungan tidak berdasar. Karena itu, Richard mengatakan Freeport tidak akan menerima pengajuan diskon harga saham divestasi yang berdasarkan pada persoalan ekologis.
"Freeport tidak akan menerima diskon signifikan dalam valuasi aset atas perkara lingkungan ini," tulis Richard Adkerson dalam salinan surat yang diperoleh Tempo. Surat bertarikh 17 April 2018 itu ditujukan untuk Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno, Menteri Keuangan Sri Mulyani, serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan. Sejumlah pejabat kementerian terkait membenarkan keberadaan risalah ini (Koran Tempo, 7 Mei 2018).
Pemerintah sejak awal menyorot isu lingkungan sebagai kartu truf untuk menekan ongkos divestasi saham Freeport. Melalui induk usaha pertambangan negara, PT Indonesia Asahan Aluminium, negara mengajukan diskon harga ke pemilik 40 persen saham partisipasi Freeport, Rio Tinto. Negosiasi yang dimulai sejak Maret lalu ini masih berlangsung.
Simak: Freeport Sepakat Divestasi Saham 51 Persen
Inalum mengajukan potongan harga berbekal studi lembaga keuangan internasional Deutsche Bank. Menurut institusi tersebut, masalah lingkungan Freeport bisa menggembosi nilai aset tambang Grasberg dari US$ 23 miliar menjadi US$ 8 miliar. "Penempatan pasir sisa tambang Freeport tidak mencerminkan pengelolaan lingkungan yang baik bagi beberapa investor multinasional," tulis Deutsche Bank dalam salinan laporannya yang diperoleh Tempo. Head of Corporate Communications and Government Relations Inalum Rendi Witular pada Maret lalu membenarkan langkah perusahaannya.
Perkara lingkungan kembali mencuat setelah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan standar baru pengelolaan limbah pertambangan Freeport dalam Keputusan Menteri Lingkungan Nomor SK.175/Menlhk.Setjen/PLB.3/4/2018. Pemerintah juga menyatakan perusahaan melakukan 47 pelanggaran.
Menurut Richard, aturan tersebut tidak realistis. Dia juga menuding keputusan baru tidak dilandasi faktor teknis, melainkan politis.
Berdasarkan laporan ke Komisi Sekuritas dan Bursa Amerika Serikat pekan lalu, Freeport menyatakan tidak akan menyetujui kesepakatan perpanjangan operasi jika pemerintah tidak memberikan solusi bagi keluhan perusahaan. Padahal, supaya perundingan rampung, Freeport hanya perlu menjual 5,38 persen saham. Klausul lain seperti kewajiban pembangunan smelter sudah disepakati perusahaan. Pemerintah juga sudah menjanjikan perpanjangan operasi dan stabilitas kewajiban fiskal bagi korporasi.
Namun pemerintah menyatakan tidak mengubah keputusannya. Menurut Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno, isu lingkungan Freeport harus beres sebelum kesepakatan diteken. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi Bambang Gatot Ariyono juga berpandangan serupa. "Mereka kami suruh mempercepat saja mengenai persoalan lingkungan hidup," ujar Bambang. Pemerintah diketahui mematok tenggat, perundingan rampung bulan depan.
ROBBY IRFANY | KHAIRUL ANAM