TEMPO.CO, Yogyakarta - Pelaku usaha industri padat karya dan berorientasi ekspor menyambut baik komitmen pemerintah yang menjadikan sektor tersebut sebagai sektor unggulan. “Di industri kami ada hampir 5 juta tenaga kerja, dan kami tengah fokus bagaimana kami bisa berkontribusi maksimal pada perekonomian,” ujar Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Adhi Lukman, di Yogyakarta, Senin, 7 Mei 2018.
Namun, menurut Adhi, masih ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan agar dapat mencapai target yang diharapkan. Peningkatan ekspor dan daya saing industri tak bisa dimungkiri membutuhkan dukungan dari pemerintah. Dia menjelaskan, dari sisi internal, misalnya, dibutuhkan dukungan kebijakan terkait dengan pemenuhan ketersediaan bahan baku, kebijakan standar dan keamanan pangan, dan peningkatan produktivitas dan kompetensi sumber daya manusia. “Tapi industri kami sebenarnya sudah banyak membuka jaringan distribusi di pasar-pasar Asia untuk mengejar ketertinggalan,” katanya.
Simak: Menperin: Industri Padat Karya Berorientasi Ekspor Ditingkatkan
“Kalau dilihat kapasitas teknologi, efisiensi tenaga kerja, dan pelatihannya, kita masih berada di bawah rata-rata Asia-Pasifik,” ucap Adhi. Sinkronisasi kebijakan antara sektor hulu dan hilir juga dinilai masih perlu diperbaiki. Adhi mengungkapkan pihaknya, di sisi lain, juga masih dibayangi faktor-faktor eksternal, seperti kenaikan harga minyak dunia, yang kemudian berdampak pada biaya produksi. Faktor lain yang tak kalah penting adalah kebutuhan akan stabilitas nilai tukar rupiah. “Kurs rupiah tolong dijaga, karena kalau sampai di atas 14 ribu per dolar Amerika Serikat ini berat. Mau tidak mau kami harus menaikkan harga. Kalau kondisi pelemahan sekarang di kisaran 13.900, kami masih oke-lah manage secara internal,” ujarnya.
Adhi secara khusus juga memberikan catatan pada kebijakan fiskal dan keuangan, juga perihal komitmen pemberian insentif fiskal dan suku bunga kredit khusus untuk industri. “Kredit untuk industri berorientasi ekspor harus lebih masif lagi dan lebih murah.” Dia juga meminta pemerintah membangun kerja sama perdagangan dengan sejumlah negara tujuan ekspor potensial non-tradisional, seperti Afrika. “Pemerintah saat ini sudah sediakan Rp 1,3 triliun untuk membiayai kredit ekspor ke Afrika tapi baru terpakai Rp 300 miliar, karena pengusaha mempertimbangkan mahalnya bea masuk ke sana yang sampai 25-40 persen,” katanya.
Baca Juga:
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat membenarkan jika dibutuhkan usaha yang kuat untuk mengambil peluang di pasar negara-negara potensial. “Penting untuk melakukan free trade agreement (FTA) atau bilateral trade agreement (BTA) dengan negara-negara pasar tujuan serta melakukan upaya perbaikan internal untuk merespons perubahan pasar, baik kualitas, harga, dan jenis maupun variasi,” tuturnya.
Pemerintah menyiapkan sejumlah upaya untuk mendorong pengembangan industri padat karya berorientasi ekspor. Berikut ini beberapa di antaranya.
1. Insentif fiskal
Tax holiday untuk investasi di atas Rp 500 miliar, skema tax allowance atau diskon pajak untuk investasi di bawah Rp 500 miliar.
2. Fasilitas pengembangan SDM
Pelatihan dan pendidikan vokasi.
3. Mendorong efisiensi biaya produksi
Stabilitas harga listrik dan gas.
4. Penyederhanaan birokrasi
Kemudahan perizinan melalui satu sistem terintegrasi Online Single Submission (OSS).
5. Memberikan kepastian usaha
Panduan kepastian terkait dengan upah tenaga kerja dan proyeksi.
6. Pengembangan infrastruktur logistik
Membangun infrastruktur jalan, tol laut, pelabuhan, dan bandar udara.
7. Perluasan akses pendanaan industri
Optimalisasi kredit usaha rakyat (KUR), pemberian kredit prioritas untuk industri padat karya berorientasi ekspor.
8. Revitalisasi kawasan industri
Pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK) dan kawasan industri berikat.
GHOIDA RAHMAH | Sumber: Kementerian Koordinator Perekonomian