TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia menetapkan dua kelompok Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) untuk mengedarkan uang elektronik, yakni front end dan back end. Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Onny Wijanarko mengatakan pengusaha tidak boleh mengembangkan bisnis uang elektronik dengan mengadopsi dua kelompok atau istilahnya “dua kaki”. Artinya, pengusaha harus memilih, apakah menjalankan bisnis dengan model front end atau back end.
"Karena kami tidak mau end to end-nya dikuasai satu orang atau dua orang. Itu tidak bagus buat ekonomi. Itu monopoli dan tidak boleh," ucap Onny saat konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Senin, 7 Mei 2018.
Simak: Revisi Aturan Uang Elektronik Akan Diterbitkan Bulan Ini
BI menerbitkan penyesuaian peraturan Bank Indonesia tentang uang elektronik yang tertuang dalam Peraturan BI (PBI) Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik. PBI tersebut berlaku sejak 4 Mei 2018. Di dalamnya tercantum 15 outline pokok penyesuaian.
Sebelumnya, aturan mengenai uang elektronik tertuang dalam peraturan Bank Indonesia Nomor 18/17/PBI/2016 tertanggal 29 Agustus 2016 perihal Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBII/2009 tentang Uang Elektronik.
Kelompok front end terdiri atas penerbit, acquirer, penyelenggara payment gateway, penyelenggara dompet elektronik, dan penyelenggara transfer dana. Sedangkan kelompok back end mencakup prinsipal, penyelenggara switching, penyelenggara penyelesaian akhir, dan penyelenggara kliring.
Menurut Onny, pengusaha harus mengambil sikap sedari awal ihwal model bisnis uang elektronik yang akan dikelola. Sebab, bisnis e-commerce dan digital cenderung menerapkan seluruh model bisnis yang ada.
"Kami tidak mau itu dan tidak mau terlambat. Jadi kami atur sekarang agar fokus," ujar Onny.
Onny menuturkan ada tiga perusahaan penerbit uang elektronik yang menerapkan front end dan back end. Dia tak menyebutkan nama perusahaan yang dimaksud. Namun kepemilikan saham ketiga perusahaan mayoritas dimiliki pihak domestik.
Onny menyatakan BI memperbolehkan tiga perusahaan itu berpijak di “dua kaki” selama tidak terjadi perpindahan kepemilikan (transfer of ownership). Sebab, ada kaidah dunia yang harus dipatuhi bersama-sama.