TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah sedang membahas revisi kebijakan cuti bersama Lebaran 2018. Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan akan ada rapat koordinasi antara BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan lembaga terkait lain pada Kamis siang, 3 Mei 2018.
"Adapun tentang liburan Lebaran 2018, saya menyambut baik bahwa siang ini akan ada rapat koordinasi di kantor Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK)," ucap Agus di Gedung Thamrin, kompleks perkantoran BI, Jakarta Pusat, Kamis, 3 Mei 2018.
Baca: Puan Maharani Kaji Ulang Tambahan Cuti Bersama Lebaran 2018
Menteri Koordinator PMK Puan Maharani memutuskan mengkaji ulang perpanjangan cuti bersama Lebaran 2018. Puan menuturkan hasil kajian akan diumumkan pekan ini.
Puan akan mengundang kementerian, lembaga terkait, seperti BI dan OJK, serta perwakilan pengusaha untuk mendengarkan masukan terkait dengan libur panjang Lebaran.
Menurut Agus, kemungkinan rapat dilaksanakan sebelum jam makan siang di Kementerian PMK, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat. Agus belum memiliki keputusan karena akan mendengar pendapat pemerintah terlebih dulu.
Agus mengatakan pembahasan di level teknis mengenai cuti Lebaran 2018 sudah berjalan tadi pukul 08.00 WIB. Pembahasan teknis itu dilakukan pihak kementerian dan lembaga terkait di level eselon I.
Sebelumnya, pemerintah menambah tiga hari cuti bersama untuk libur Lebaran 2018 yang jatuh pada 14 dan 15 Juni 2018. Dengan begitu, libur Lebaran tahun ini akan dimulai pada 11 Juni 2018 dan berakhir 19 Juni 2018.
Kebijakan itu membuat cuti bersama libur Lebaran 2018 menjadi sepuluh hari. Bahkan bisa bertambah menjadi 12 hari karena 9-10 Juni 2018 merupakan hari libur, yakni Sabtu dan Minggu. Keputusan tersebut disahkan melalui SKB Nomor 233, Nomor 46, serta Nomor 13 Tahun 2018 yang diteken Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Asman Abnur, dan Menteri Koordinator PMK Puan Maharani.
Kebijakan tambahan cuti bersama Lebaran belakangan diprotes sejumlah pengusaha. Salah satunya Executive Member Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSYFI) Prama pada Kamis, 14 April 2018. Ia menilai kebijakan itu merugikan kegiatan industri dan ekspor. Prama mengatakan potensi kehilangan ekspor disebut mencapai 50 persen.