TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan Bank Indonesia (BI) tidak bisa hanya menyalahkan faktor global atas melemahnya rupiah belakang ini.
"Karena sebagian besar yang mempengaruhi pelemahan rupiah adalah fundamental ekonomi, maka tugas pemerintah juga untuk memperkuat kinerja ekonomi domestik," kata Bima kepada Tempo, Sabtu, 28 April 2018.
Untuk itu, Bima mengatakan pemerintah harus menjaga daya beli masyarakat dengan menciptakan stabilitas harga, baik untuk Bahan Bakar Minyak (BBM), listrik maupun harga pangan. Terlebih menjelang bulan Ramadan. Selanjutnya, penyaluran bantuan sosial juga tidak boleh terlambat. "Sebagai bentuk pemberian Vitamin C atau Confidence yang akhir akhir ini kurang dipasar," kata Bima.
Simak: IHSG Anjlok Terimbas Pelemahan Rupiah
Jumat lalu, Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan Kenaikan suku bunga obligasi AS hingga 3,03 persen menjadi penyebab utama rupiah terdepresiasi minus 0,88 persen secara month to date. Kenaikan suku bunga obligasi AS itu disebut sebagai Itu yang tertinggi sejak 2013.
Sebab lain dari depresiasi, ujar Agus, karena faktor musiman. Dalam triwulan II tahun 2018, permintaan valas meningkat. Permintaan itu disebut untuk keperluan membayar utang luar negeri, impor dan pembayaran dividen. Salah satu langkah yang akan di ambil BI jika situasi memburuk adalah menaikkan suku bunga acuan BI 7 Days Repo Rate.
Lanjut, Bima menyarankan agar BI segera menaikkan suku bunga acuan 7 days repo rate 25-50 bps. Upaya itu dilakukan agar bisa menaikkan return aset sehingga menahan capital outflow dana asing.
Dalam kondisi mendesak, Bima mengatakan BI bisa menerbitkan aturan mengenai capital control untuk tahan DHE atau devisa hasil ekspor di bank dalam negeri, sehingga pembelian rupiah meningkat.
"Thailand berhasil kendalikan bath karena punya instrumen capital control DHE wajib disimpan dibank dalam negeri minimum 6 bulan. Aturan itu kita belum punya," katanya.