TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan aturan baru tentang penghilangan persyaratan kewajiban pemenuhan agunan kas atau deposit sebesar 10 persen untuk nasabah tertentu dan untuk transaksi structured product valuta asing (valas) terhadap rupiah dengan tujuan lindung nilai (hedging). “Artinya tidak ada biaya lagi bagi nasabah,” ujar Ketua OJK Wimboh Santoso, di Jakarta, kemarin.
Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.6/POJK.03/2018 yang merevisi POJK No.7/POJK.03/2016 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Melaksanakan Kegiatan Structured Product bagi Bank Umum. Perubahan ini diharapkan dapat memperdalam pasar keuangan Indonesia, dan menarik dana investor yang selama ini tersebar sehingga likuiditas valas kembali membanjir. Transaksi juga diharapkan dapat lebih efisien, meningkatkan likuiditas di pasar derivatif, hingga berujung pada pendalaman pasar keuangan nasional.
Baca: Bank Indonesia Operasi Pasar, Rupiah Bergerak Naik
Wimboh mengatakan perubahan aturan dilakukan sebab selama ini investor cenderung enggan melakukan hedging di Indonesia, dan lebih memilih melakukannya di Singapura. “Karena di sana tidak ada margin call, dengan ini diharapkan dapat menarik transaksi di dalam negeri, juga sebagai insentif agar investasi yang masuk lebih banyak lagi,” ucapnya.
Berdasarkan laporan dari perbankan, potensi transaksi yang hilang karena tidak dilakukan di dalam negeri sebelumnya bisa mencapai US$ 8 miliar. “Bank-bank BUMN yang bilang karena transaksi besar banyak di sana.” Jika ada margin call 10 persen berarti sekitar US$ 800 juta terhitung sebagai biaya yang harus ditanggung nasabah. “Ini dibilang memberatkan,” katanya.
Dalam jangka panjang, kebijakan ini juga diharapkan dapat membantu korporasi atau nasabah di tengah fluktuasi nilai tukar rupiah beberapa waktu terakhir. Sebab, dengan meningkatkan rasio hedging, risiko kerugian akibat selisih kurs dapat ditekan.
Kepala Departemen Pendalaman Pasar Keuangan BI Nanang Hendarsah mengatakan dengan aktifnya korporasi melakukan lindung nilai, maka permintaan valas korporasi tidak akan membebani pasokan valas di pasar, yang selama ini menjadi penyebab pelemahan rupiah. “Risiko fluktuasi harus dijaga agar tidak menggerus pendapatan korporasi, sehingga tetap bisa berfokus pada pengembangan usaha,” ucapnya.
Ke depan, BI berharap korporasi dapat menjadikan risiko pasar atau risiko kurs ini sebagai bagian dari pengelolaan risiko yang berkelanjutan. Korporasi pun dapat lebih siap ketika menghadapi tekanan ekonomi eksternal semakin kencang.
Ekonom PT Bank Central Asia (BCA) Tbk David Sumual mengatakan aturan baru OJK tersebut dapat menggairahkan pasar hedging. “Karena memang mengkhawatirkan kalau semua transaksi di pasar spot, rupiah bisa jadi semakin volatile,” ujarnya.
David membenarkan jika kewajiban menyetorkan agunan kas menjadi kendala bagi investor yang ingin melakukan hedging rupiah. “Mereka memilih transaksi di luar negeri, sehingga transaksi pasar valas kita tipis sehari sekitar US$ 4-5 miliar. Jadi ketika ada gejolak, sulit menahan tetap balance,” katanya.