TEMPO.CO, Jakarta - Arus modal asing terus keluar dari pasar modal disebabkan oleh tekanan pelemahan rupiah yang terus berlanjut. Sejak Januari lalu, dana asing yang telah keluar mencapai Rp 29,25 triliun. Dana asing tersebut mulai ‘pulang kampung’, menyusul semakin kencangnya rencana kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS (Fed Fund Rate) lebih dari tiga kali tahun ini.
AS yang beberapa tahun terakhir menerapkan suku bunga rendah, sejak akhir tahun lalu menaikkan Fed Fund Rate untuk menarik kembali para investor, yang sebelumnya berpaling ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Di satu sisi, Bank Indonesia (BI) pun terus berupaya melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah agar tidak terperosok lebih dalam lagi.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan berdasarkan pantauan di pasar uang beberapa hari terakhir, BI secara intensif terus menabur dolar AS untuk mengendalikan nilai tukar. Intervensi pasar yang dilakukan tersebut berakibat pada tergerusnya cadangan devisa Indonesia. “Hingga saat ini sudah tergerus US$ 6 miliar (year to date),” katanya kepada Tempo, Rabu 25 April 2018.
Simak: Rupiah Menguat, Ekonom: Efek Intervensi BI
Menurut Faisal hal tersebut lazim dilakukan oleh bank sentral untuk menambah ketersediaan suplai dolar AS di pasar. “Pengalaman di Malaysia sampai habiskan US$ 30 miliar untuk stabilisasi ringgit, kalau sampai sebesar ini sudah terlalu besar, berarti sudah sampai tahap kepanikan,” ucapnya. Dia melanjutkan, psikologis pasar harus tetap dijaga oleh BI agar kepercayaan investor tak menurun.
Gubernur Bank Indonesia Agus D.W. Martowardojo membenarkan jika lembaganya telah melakukan intervensi baik di pasar valas maupun Surat Berharga Negara (SBN) dalam jumlah yang cukup besar. “Terbukti depresiasi tidak menjadi lebih dalam, perlahan kami menjaga stabilitas rupiah agar berbalik menguat,” katanya. Kemarin, rupiah ditutup berada di posisi 13.888 per dolar AS, setelah sehari sebelumya sempat menyentuh level 13.900 per dolar AS.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira berujar di satu sisi langkah BI menggelontorkan devisa untuk menahan pelemahan rupiah tak bisa terus dibiarkan. Sebab, akan berpengaruh pada kredibilitas moneter dalam negeri. Cadangan devisa terus menurun sejak Februari lalu, hingga terakhir berada di posisi US$ 126 miliar.
“Dalam kondisi mendesak BI bisa menerbitkan aturan mengenai capital control untuk tahan devisa hasil ekspor di bank dalam negeri sehingga pembelian rupiah meningkat,” ujarnya.
Bhima mencontohkan di Thailand, langkah tersebut telah berhasil mengendalikan mata uang Bath tetap stabil. “Tapi mereka sudah punya instrument capital control devisa hasil ekspor di mana wajib disimpan di bank dalam negeri minimal 6 bulan, nah aturan ini kita belum punya,” ucapnya. Hal serupa diungkapkan oleh Analis Binaartha Parama Sekuritas Reza Priyambada.
Menurut dia, pelaku pasar menilai upaya BI mengguyur dolar AS menggunakan cadangan devisa tidak cukup efektif. “BI mengatakan pelemahan rupiah dikarenakan pengaruh global, tapi dari BI langkah strategisnya apa itu yang belum ditangkap pelaku pasar,” katanya.