TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Opsi) Timboel Siregar menilai Peraturan Presiden RI (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA), cacat formil dan cacat materiil.
"Secara formil, proses pembuatan Perpres TKA ini tidak sesuai dengan undang-undang karena tidak melibatkan para stakeholder ketenagakerjaan seperti SP, SB, Apindo, Kadin dan atau para akademisi dan masyarakat lainnya," ujar Timboel dalam keterangannya yang diterima Tempo pada Selasa, 24 April 2018.
Simak: JK: Aturan Tenaga Kerja Asing Bukan Berarti Mereka Bebas Masuk
Selain itu, Timboel juga menilai Perpres TKA ini juga dibuat dengan sangat terburu-buru dan tidak didasari pada adanya kajian akademik. "Keterlibatan stakeholder dan adanya kajian akademik merupakan salah satu persyaratan proses pembuatan Peraturan Presiden," ujarnya.
Sehubungan dengan materiil, ujarnya, ada dua pasal dalam Perpres TKA ini yang bertentangan dengan UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pertama, Pasal 9 Perpres TKA menyatakan pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) merupakan ijin untuk mempekerjakan TKA. "Ini artinya badan usaha yang ingin menggunakan TKA tidak wajib lagi mengurus ijin," ujarnya.
Padahal, lanjutnya, penjelasan Pasal 43 UU Nomor 13 tahun 2003 menyatakan RPTKA merupakan persyaratan untuk mendapat ijin kerja. "Bila membaca penjelasan Pasal 43 ini berarti RPTKA dan ijin TKA adalah hal yang berbeda, dan RPTKA menjadi syarat untuk mendapat ijin," ujarnya. "Jadi, dengan adanya pasal 9 ini IMTA dihapuskan. Padahal RPTKA dan IMTA adalah hal yang berbeda".
Kedua, pada pasal 10 ayat 1a Perpres TKA disebutkan pemegang saham yang menjabat sebagai direksi atau komisaris tidak diwajibkan memiliki RPTKA (rencana penggunaan TKA), sementara di pasal 42 ayat 1 UU 13 tahun 2003 mewajibkan TKA termasuk komisaris dan direksi harus memiliki ijin, dan di Pasal 43 ayat 1 diwajibkan memiliki RPTKA. "Yang tidak diwajibkan untuk komisaris dan direksi hanyalah menunjuk tenaga kerja Indonesia sebagai pendamping dan pelatihan pendidikan, jadi Pasal 10 ayat 1a bertentangan dengan Pasal 42 ayat 1 dan Pasal 43 ayat 1 UU 13 tahun 2003," ujarnya.
Selanjutnya, ujarnya, Pasal 10 ayat 1c Perpres TKA menyatakan pemberi kerja TKA tidak wajib memiliki RPTKA untuk mempekerjakan TKA yang merupakan TKA pada jenis pekerjaan yang dibutuhkan Pemerintah. Dengan pasal ini, berarti ada pengecualian bagi pemberi kerja TKA untuk tidak mengurus RPTKA. "Padahal bila membaca Pasal 43 ayat 3 yang dikecualikan hanya bagi instansi pemerintah, badan badan internasional dan perwakilan negara asing. Klausula Instansi pemerintah berarti TKA yang bekerja untuk instansi pemerintah," ujarnya.
Menurut dia, pasal ini membuka ruang bagi TKA yang bekerja di luar instansi Pemerintah dengan tidak wajib memiliki RPTKA. Timboel menduga, hadirnya Pasal 10 ayat 1c ini dikhususkan untuk TKA yang terlibat dalam pengerjaan infrastruktur yang dibiayai dari pinjaman luar negeri. ULN dari Tiongkok, menurutnya, mensyaratkan pekerja tiongkok mengerjakan infrastruktur yang dibiayai dari pinjaman luar negeri tersebut. "Jadi saya menilai Pasal 10 ayat 1c bertentangan dengan Pasal 43 ayat 3 UU 13 tahun 2003," ujarnya.
Di lain pihak, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan Peraturan Presiden tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing tidak berarti para tenaga kerja itu bisa bebas masuk dan bekerja di Indonesia. Aturan ini, kata dia, hanya untuk mempermudah perizinan.
"Tidak berarti kami membebaskan seorang asing yang bekerja sebebas-bebasnya, tidak. Cuma bagaimana kami mempermudah prosesnya," kata Kalla saat membuka Musyawarah Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia ke-10 di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Selasa, 24 April 2018.
Menurut Kalla, aturan yang dikeluarkan pemerintah tak lepas dari pengusaha yang kerap mengeluh sulitnya mempekerjakan tenaga kerja asing di Indonesia sebelumnya. Ia mencontohkan dahulu tenaga kerja asing hanya diberikan visa yang berlaku selama enam bulan. Jika mau memperpanjang izin, para tenaga kerja harus pulang terlebih dahulu untuk mengurusnya.
"Zaman dulu hanya dikasih enam bulan visanya. Enam bulan ke Singapura dulu, perpanjang lagi, dapat enam bulan lagi. Besok-besok di-sweeping sama orang Imigrasi resmi atau tidak resmi. Akhirnya menyebabkan kritik besar," ucap Kalla.
DEWI NURITA l AHMAD FAIZ