TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, khawatir perombakan jajaran direksi PT Pertamina (Persero) bakal berpengaruh buruk pada kinerja perusahaan. "Pasti akan mempengaruhi kebijakan-kebijakan strategis Pertamina ke depannya kalau umur jabatan direksinya pendek-pendek. Karena harus sibuk melakukan penyesuaian arahan direksi baru,” kata Bhima kepada Tempo, Ahad, 22 April 2018.
Pernyataan Bhima menanggapi perombakan jajaran direksi Pertamina pada Jumat pekan lalu. Selain Elia Massa Manik yang dicopot dari jabatan Direktur Utama, ada empat direktur yang diganti melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa perusahaan pelat merah itu. Untuk sementara, Kementerian BUMN menunjuk Nicke Widyawati sebagai pelaksana tugas Direktur Utama sekaligus Direktur SDM.
Baca: Dirut Pertamina Diganti, Said Didu: Sarat Kepentingan Politik
Setidaknya ada sejumlah alasan Kementerian BUMN mengganti lima direktur Pertamina itu. Pertama, bagian dari upaya mempercepat proses pembentukan perusahaan induk (holding) di sektor minyak dan gas. Kedua, perkembangan kondisi terakhir kejadian kecelakaan pipa di Balikpapan dan kelangkaan bahan bakar minyak (BBM).
Bhima menjelaskan Massa Manik tercatat menjabat Direktur Utama Pertamina selama 13 bulan. Direktur utama sebelumnya, Dwi Soetjipto, hanya memimpin perusahaan minyak nasional itu selama dua tahun.
Kebiasaan merombak direksi Pertamina dalam kurun waktu singkat, menurut Bhima, jelas terlihat berdampak pada kinerja perseroan. Dia mencontohkan eksplorasi ladang minyak baru sepanjang 2012-2017 yang merosot tajam hingga 63 wilayah kerja.
Belum lagi, kata Bhima, adanya hambatan dari sisi hilir seperti penugasan BBM oleh pemerintah. “Kalau pergantian direksi berkorelasi positif ke perbaikan kinerja tidak masalah, tapi ini kesannya lebih pada kepentingan politik,” ujarnya.
Yang juga perlu dicermati, kata Bhima, adalah penurunan lifting migas dari target 800 ribu barel menjadi 775 ribu barel per hari. Jika kondisi itu terus terjadi sampai 2025, lifting minyak bakal sampai 550 ribu barel per hari. “Defisit migas sudah US$ 7 miliar,” tutur dia.
Selain itu, kata Bhima, Pertamina harus menjalankan kebijakan populis, seperti penyaluran kembali premium di wilayah Jawa, Madura, dan Bali dengan harga dipatok pemerintah. “Padahal tren harga minyak dunia sekarang sudah US$ 74 per barel. Jadi, selisih yang ditanggung lebih besar,” ujarnya. Kebijakan penyaluran Premium, kata Bhima, tidak mempedulikan nasib jangka panjang Pertamina.
Pengamat energi dari Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, menduga pemerintah kesulitan mencari pemimpin baru definitif Pertamina yang paham seluk-beluk bisnis migas dan paham alur politik. Apalagi menghadapi tahun politik, bos perusahaan pelat merah di bidang migas itu dituntut mampu mengatasi pasokan bahan bakar minyak.
Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Fajar Harry Sampurno alasan digantinya beberapa direktur di Pertamina salah satunya untuk penyegaran khusus di bidang pemasaran. Maka, tiga direktur pemasaran diganti untuk meningkatkan pelayanan ke masyarakat.
YOHANES PASKALIS DAE / CHITRA PARAMAESTI
Lihat juga video: Menolak Jadi Dokter, Pemuda Ini Sukses Jadi Raja Kafe Kopi