TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia (BI) sepakat dengan usulan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan atau PPATK, agar pemerintah membuat aturan untuk membatasi transaksi uang tunai maksimal Rp 100 juta.
Menurut Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI) Erwin Haryono, usulan tersebut mungkin berkaitan dengan kegiatan pemilu atau kegiatan politik, sementara juga sejalan dengan kampanye gerakan non tunai BI agar semua transaksi bisa tercatat dengan jelas. Lebih jauh, hal ini sesuai dengan tren global.
"Kami sependapat baik dari sudut kepentingan bank sentral maupun sejalan dengan tren global," ujar Erwin saat ditemui di kantornya pada Kamis malam, 20 April 2018.
Sebelumnya, Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin mengatakan, alasan pihaknya mendorong dibuatnya undang-undang pembatasan transaksi uang tunai, adalah guna meminimalisir terjadinya tindak pidana korupsi. "Langkah tersebut perlu dilakukan untuk mempersempit ruang gerak pelaku tindak pidana korupsi, suap, dan tindak pidana lainnya," kata Kiagus Ahmad Badaruddin di kantornya, Jakarta, Selasa, 17 April 2018.
Simak: Tantangan Kebijakan Non-Moneter BI
Sejak berdiri pada 2013 hingga Januari 2018, PPATK telah menyampaikan 4.155 hasil analisis kepada penyidik. Dari jumlah itu, kata dia, 1.958 di antaranya terindikasi terkait dengan tindak pidana korupsi dan 113 lainnya terindikasi tindak pidana suap. Kebanyakan dari transaksi itu diketahui dilakukan menggunakan uang tunai.
Draft terkait pembatasan transaksi tunai akan segera diajukan kepada Dewan Perwalian Rakyat (DPR) untuk selanjutnya dibahas menjadi undang-undang. Dalam draf aturan itu, pembatasan pemakaian uang tunai akan dilakukan untuk korporasi dan perorangan.
Untuk itu, Bank Indonesia enggan berkomentar lebih lanjut terkait nominal yang akan disepakati untuk pembatasan transaksi tunai, sebab rencana ini masih akan diajukan kepada DPR.
DEWI NURITA | ROSSENO AJI