TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus menilai, dalam 10 tahun terakhir, sektor pertanian hanya membuang-buang devisa negara. Impor pangan yang tak sebanding dengan jumlah ekspor, membuat devisa negara harus terus keluar tanpa pemasukan yang seimbang.
Alhasil, dalam 10 tahun belakangan, defisit neraca perdagangan di sektor pertanian terus terjadi. "Selama 10 tahun istiqomah defisitnya. Kontribusi ekspornya kecil, impornya semakin besar," ujar Heri di kantornya, Rabu, 18 April 2018.
Simak: Nilai Tukar Rupiah Menguat, INDEF: 'Ada Hot Money'
Heri memaparkan, catatan Indef sepanjang 2007-2017, rata-rata pertumbuhan ekspor produk pertanian dalam negeri hanya berada di angka 5,78%. Angka ini jauh tertinggal dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan impor produk pertanian yang mencapai 45,89% dalam rentang waktu yang sama.
Akibatnya, defisit neraca perdagangan internasional untuk produk pertanian pada 2017, mengalami defisit mencapai USD 3,51 miliar.
Terlebih, lanjutnya, sejak Indonesia memutuskan untuk meratifikasi sejumlah FTA, di saat itu pula Indonesia seakan menjadi net importir produk pangan. Sementara di lain sisi, ekspor produk pertanian juga 'melempem' karena produk pertanian tidak mampu bersaing menghadapi berbagai kebijakan Non Tariff Measures yang berlapis di negara tujuan.
Untuk itu, Indef merekomendasikan agar pemerintah melakukan upaya konkret dalam menunjang produktivitas dan ketersediaan pangan, baik guna pemenuhan kebutuhan konsumsi masyarakat maupun kebutuhan bahan baku industri makanan.
Kemudian, untuk pengendalian impor sekaligus memperbaiki neraca perdagangan dan daya saing produk dalam negeri, kegiatan impor produk tertentu perlu diperkuat dengan verifikasi fisik barang melalui pengujian standard mutu barang secara cepat dan akurat. Juga memperkuat kebijakan substitusi impor atau mengenakan bea masuk barang impor untuk perlindungan produk pangan dalam negeri.