TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyoroti sembilan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait masalah pangan, sebagai bukti rendahnya validitas data yang berimbas pada semakin merajalelanya pemburu rente di sektor pangan.
Menurut Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati, sembilan temuan BPK terkait pengelolaan tata niaga impor pangan juga menunjukkan minimnya koordinasi dan integrasi data lintas kementerian, serta ketidakpatuhan terhadap SOP dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Dipicu oleh karut-marut data pangan dan disparitas harga internasional vs lokal yang menggiurkan, memberi ruang pemburu rente merajalela," ujar Enny di kantornya, Rabu, 18 April 2018.
Seperti diketahui, dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2017 BPK yang dirilis pada 3 April 2018, terdapat sembilan temuan pemeriksaan terhadap pengelolaan tata niaga impor pangan tahun anggaran 2015-semester I 2017.
Baca juga: Hadang Buah Impor, Pemerintah Bentuk Klaster per Daerah
Beberapa di antara temuan tersebut menunjukkan izin impor beras sebanyak 70.195 ton tidak memenuhi dokumen persyaratan, adapula impor sapi pada 2016 sebanyak 9.370 ekor dan daging sapi sebanyak 86,567,01 ton, serta impor garam sebanyak 3,35 juta ton tidak memenuhi dokumen persyaratan.
Kemudian, penerbitan persetujuan impor daging sapi sebanyak 97.100 ton dan realisasi sebanyak 18.012.91 ton senilai Rp 737,65 miliar tidak sesuai atau tanpa rapat koordinasi dan/atau tanpa rekomendasi Kementan, serta beberapa temuan lainnya yang mencerminkan kurangnya validitas data di sektor pangan.
Menurut Indef, berbagai temuan tersebut tidak bisa dianggap angin lalu. Enny menganggap ada masalah regulasi dalam hal ini. "Siapa yang bisa disalahkan jika pemburu rente merajalela? Nyatanya regulasi yang membuka ruang bagi mereka," ujarnya.
Untuk itu, Indef merekomendasikan agar pemerintah mengevaluasi kebijakan impor pangan secara menyeluruh, baik terkait sistem perencanaan, pemberian ijin, formula dan prosedur maupun aturan tehnis impor. Termasuk mengevaluasi sistem kuota dalam pemberian dan penunjukan izin impor.
"Selama ini kebijakan importasi kita tidak memberikan dampak positif, kecuali terhadap sektor langsung yang berkaitan," ujar peneliti Indef, M. Rizal Taufikurahman di lokasi yang sama.