TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengkritik sikap pemerintah yang terus membanggakan angka Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang disebut semakin baik, namun tidak diiringi dengan perbaikan pembangunan di sektor pertanian. Sehingga, Indonesia masih saja mengimpor pangan terutama beras sebagai bahan makanan pokok.
"Jika pemerintah membanggakan PDB terus tapi masih impor pangan, sama saja. Kalau dibedah sampai ke level mikro, semakin kelihatan kelemahan agregat kita," ujar Eko Listiyanto dalam acara diskusi bersama media di kantornya, Jakarta Selatan, Rabu, 18 April 2018.
Baca: PDB Indonesia Sentuh USD 1 Triliun Pada 2017
Seperti diketahui, sejak memasuki tahun 2018, Indonesia menyandang status baru sebagai negara dengan PDB nominal sebesar USD 1 triliun. Indonesia masuk dalam daftar 16 dari 180 negara di dunia yang memiliki output di atas USD 1 triliun.
Namun menurut Eko, perbaikan di sektor makro harus beriringan dengan perbaikan di sektor riil. "Kalau pemerintah hanya mengotak-atik suku bunga, tapi sektor riil tidak diperhatikan, maka tidak akan ada perubahan yang signifikan. Keduanya sampai saat ini belum padu," ujarnya.
Eko mencontohkan, negara tetangga seperti Thailand misalnya, yang PDB-nya terbilang rendah daripada Indonesia, namun stabilitasasi harganya terjaga. Kaitannya dengan ekonomi makro, misalkan inflasi rendah, namun harga pangan tak murah maka daya beli akan rendah. "Hal ini tentu saja berdampak kepada pertumbuhan ekonomi Indonesia," ujarnya.
Untuk itu, Indef memberi beberapa rekomendasi kepada pemerintah, di antaranya dengan mengevaluasi kebijakan impor pangan secara menyeluruh, baik terkait sistem perencanaan, pemberian ijin, formula dan prosedur maupun aturan teknis impor. Termasuk mengevaluasi sistem kuota dalam pemberian dan penunjukan ijin impor.
Baca berita lainnya tentang PDB di Tempo.co.