TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Dede Yusuf khawatir tunggakan iuran peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) bakal menjadi bola liar. Pasalnya, jumlahnya saat ini sangat besar.
Risiko ini tercermin dari fakta adanya 12 juta peserta BPJS Kesehatan yang menunggak sepanjang 2017. "Risiko terbesar adalah orang harus membayar satu keluarga, akhirnya banyak tunggakan," kata Dede dalam rapat dengar pendapat dengan BPJS Kesehatan dan sejumlah stakeholder, Selasa, 10 April 2018.
Baca: ICW: Triliunan Dana Kapitasi BPJS Kesehatan Rawan Dikorupsi
Sementara, kata Dede, pemerintah menargetkan bisa mencapai universal health coverage (UHC) pada 2019. Artinya sebanyak 257 juta penduduk Indonesia sudah harus menjadi peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
Sampai dengan 1 April 2018, peserta BPJS Kesehatan mencapai 195,1 juta jiwa. Kepada BPJS Kesehatan Dede menyarankan agar target ditinjau ulang, apakah dari segi jumlah kepesertaan atau kualitas layanan.
Selain itu, Dede juga menilai adanya simpang siur data antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial dan BPJS Kesehatan. Data yang dimaksud yakni yang digunakan sebagai dasar penetapan penerima bantuan iuran (PBI) yang dibiayai oleh APBN.
Untuk mencapai UHC yang mencakup 257 juta jiwa masyarakat Indonesia, Dede menekankan koordinasi antar lembaga, terutama mengenai data faktual yang menjadi dasar pemerintah mengucurkan dana alokasi untuk bantuan iuran. "Perlu ada duduk bersama antara pelaku-pelaku data Kementerian Sosial, Dirjen Dukcapil, BKKBN, lalu diintegrasikan sehingga nanti bisa ditentukan berapa uang yang kita turunkan untuk peserta miskin," katanya.
Tenaga Ahli Kedeputian II Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Sosial Budaya dan Ekologi Strategis Kantor Staf Presiden Bimo Wijayanto menyebutkan pengelolaan data kemiskinan yang dilakukan oleh Kementerian Sosial. Kemensos dan Pemerintah Daerah selama ini melakukan pemutakhiran status kependudukan dua kali dalam satu tahun, namun status kemiskinan belum menjadi fokus.
"Yang menjadi fokus hanya masalah pemutakhiran data kependudukan, pemutakhiran status kemiskinan yang harusnya di-upgrade reguler juga," kata Bimo.
Dalam praktiknya, pemutakhiran data kependudukan oleh Kemensos untuk kepentingan bantuan sosial menemui kendala di lapangan. Beberapa pemerintah Daerah, lanjut Bimo, mengalami kebingungan dalam menggunakan aplikasi yang digunakan Kemensos.
Adapun untuk mengurai permasalahan kepesertaan PBI ganda, Bimo sepakat untuk semua pihak yang berkepentingan duduk bersama dan membedah data terkait BPJS Kesehatan yang dinilai tidak sinkron. "(Data) PBI itu dibuka datanya, untuk bisa menjawab berapa pemerintah harus menalangi untuk mencapai UHC," katanya.