TEMPO.CO, Yogyakarta - Kementerian Perdagangan menyiapkan peraturan baru yang siap diundangkan guna mencegah praktik manipulasi komoditas beras bermerek yang dijual ke masyarakat. Peraturan menteri tersebut ditujukan untuk para perusahaan, pemegang merek dagang, serta distributor.
Dalam beleid tersebut mewajibkan bahwa merek beras yang dijual ke masyarakat harus terdaftar. Selain itu pada kemasan beras yang dijual, harus mencantumkan antara lain tingkat prosentase kepecahan beras (broken) untuk mengetahui beras itu kualitas medium atau premium.
Baca Juga:
Baca: Masih Panen, Serapan Beras Bulog Bojonegoro di Bawah 10 Persen
Juga soal identitas siapa penggiling, pemilik merek, alamat atau lokasi penggilingan dan nomor telepon harus jelas tercantum. "Peraturan ini untuk memudahkan satgas (satuan tugas) pangan jika terjadi sesuatu atas beras bermerek itu," ujar Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita saat menghadiri Rapat Koordinasi Kesiapan Hari Besar Keagamaan Nasional jelang puasa dan Lebaran 2018 di Gedong Pracimartono Komplek Kepatihan Yogyakarta, Jumat, 6 April 2018.
Enggar menuturkan peraturan tentang beras bermerek ini sebagai respons maraknya fenomena manipulasi kualitas beras oleh sejumlah pemegang merek yang dideteksi Kementerian Perdagangan. "Beberapa kasus, beras medium dijual dengan harga beras premium padahal sedikit sekali isinya (beras) yang diubah, kualitas premium juga dijual dengan harga beras kualitas khusus," ujar Enggar.
Peraturan ini, ujar Enggar, sebagai penanda pemerintah tak mau lagi terjadi permainan dagang para pemegang beras bermerek kepada masyarakat atau konsumen. "Soal ini harus lebih tegas aturannya. Jangan lagi ada penyimpangan.@
Enggar menyatakan, dalam perumusannya aturan ini sempat menimbulkan perdebatan. Misalnya jika diketahui ada merek kemasan beras dengan tingkat kerusakan atau kepecahan (broken) sebenarnya 26 persen lalu dalam kemasan tertulis hanya 25 persen.
"Kalau seperti itu nggak selesai perdebatannya. Yang penting (pemegang merek) jangan nulis kalau broken berasnya sebenarnya 26 persen tapi ditulis 20 persen saja, mereka akan selalu melakukan pencampuran beras itu," ujar Enggar.
Dalam peraturan baru ini, Enggar menuturkan untuk beras kelas medium dan premium, pemegang merek juga tak perlu mencantumkan varietas beras lagi dalam kemasannya. Sebab seringkali identitas varietas beras ini jadi sekedar alat jual sementara masyarakat tak mendapat akses kebenaran sebenarnya mana varietas itu sebenarnya.
Kecuali, kata Enggar, beras kualitas khusus di atas premium yang bisa lebih mudah diketahui karakter dan spesifikasinya. "Daripada pemerintah ikut dalam praktik kebohongan ini kami hilangkan ketentuan pencantuman varietas itu," katanya.
Enggar menambahkan dalam aturan baru ini pemegang merek juga wajib mencantumkan harga dalam kemasan beras khususnya kelas medium dan premium. Untuk beras khusus aturan pencantuman harga tak wajib diikuti. "Kami juga tidak mau lagi mempersoalkan asal beras itu darimana dalam aturan ini, karena banyak sekali beras daerah yang berwisata, berkeliling dari satu titik ke titik lain," ujarnya.