TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah menyatakan kasus tumpahan minyak di Laut Timor yang melibatkan BUMN minyak Thailand, PTT Exploration and Production (PTTEP) Public Company Limited, kemungkinan diselesaikan di luar pengadilan. Insiden ledakan di ladang migas Montara di Australia ini yang mengakibatkan pencemaran minyak di perairan Laut Timor, Nusa Tenggara Timur pada Agustus 2009 lalu.
Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan hari ini di kompleks Istana Negara, Jakarta. Ia mengatakan Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-O-Cha yang ditemuinya pada akhir Maret 2018 meminta masalah tumpahan minyak di ladang minyak Montara diselesaikan.
Baca: Tumpahan Minyak Montara, Pemerintah Pernah Dikelabui PTTEP
Sebelumnya diketahui pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menggugat sejumlah perusahaan di bawah naungan BUMN Thailand itu pada Agustus 2017. "Bisa saja (diselesaikan di luar pengadilan), yang penting harus kita selesaikan baik-baik. Hubungan kita dengan Thailand juga baik," kata Luhut , Rabu, 4 April 2018.
Luhut menjelaskan, selama ini Indonesia memiliki hubungan baik dengan Thailand. Di samping itu, perusahaan sejenis Pertamina di Thailand ini juga disebut akan melakukan investasi tambahan di Indonesia.
Kendati demikian, Luhut menegaskan supaya pihak PTTEP tetap harus mengganti kerugian terhadap masyarakat yang lingkungannya telah dirusak. "Rakyat dirugikan, kalau itu harus jelas sikap kita soal pemerintah bahwa kepentingan rakyat kita harus kita bela," katanya.
Seperti diketahui, pada Agustus 2009, sumur minyak milik PTTEP di Montara meledak. Minyak itu kemudian tumpah ke Laut Timor. Peristiwa itu, menurut sejumlah pihak seperti petani rumput laut, nelayan dan pemerintah Indonesia, mengakibatkan kerugian bagi para pemangku kepentingan.
Melubernya minyak tersebut berlangsung selama 74 hari sejak 29 Agustus 2009 hingga 3 November 2009. Limbah minyak ini kemudian menyebar ke perairan Nusa Tenggara Timur, Indonesia.
Atas dasar kasus Montara tersebut, pemerintah meminta ganti rugi sebesar Rp 27,47 triliun kepada para tergugat. Ganti rugi itu terdiri dari ganti rugi materiil senilai Rp 23,01 triliun dan biaya pemulihan lingkungan Rp 4,46 triliun.