TEMPO.CO, Jakarta -Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara, menyebut kenaikan harga bahan bakar jenis Pertalite berpotensi membuat masyarakat beralih lagi ke bahan bakar jenis Premium.
"Kalau harga Pertalite meningkat terlalu jauh dr pada harga Premium, maka ada kemungkinan orang akan pindah," ujar Suahasil di Gedung Energy Building, Jakarta, Selasa, 27 Maret 2018.
PT Pertamina (Persero) mulai Sabtu, 24 Maret 2018, pukul 00.00 menaikkan harga Pertalite. Dalam situsnya, Pertamina mengumumkan harga BBM beroktan 90 itu untuk Pulau Jawa menjadi Rp 7.800 perliter, atau naik Rp 200.
Harga ini juga berlaku untuk wilayah Bali, Nusa Tenggara, Aceh, Sumatera Utara dan Sumbatera Barat. Untuk wilayah Sumatera lainnya, Pertalite dijual Rp 8000, sedangkan untuk Riau dan Kepulauan Riau dijual Rp 8.150.
Kenaikan Rp 200 rupiah juga terjadi untuk penjualan di Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua, sehingga harga Pertalite menjadi Rp 8000.
Baca Juga: Pertalite Naik Rp 200 per Liter
Suahasil mengatakan pihak Kementerian Keuangan memahami bahwa kenaikan harga Pertalite dipengaruhi oleh naiknya harga minyak dunia. Selain itu Pertalite bukanlah jenis bahan bakar yang mendapatkan subsidi dari pemerintah, sehingga penentuan harga sesuai dengan keputusan bisnis yang dilakukan oleh Pertamina.
Suahasil menyerahkan ihwal keputusan kemungkinan peningkatan alokasi Premium, jika permintaannya membludak, serta besaran volumenya kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Dari sisi anggaran, ia menyebut kedepannya akan ada diskusi jika benar diperlukan adanya peningkatan alokasi. “Ya nanti akan didiskusikan apa saja yang diperlukan,” tutur dia.
Kenaikan harga Pertalite, lanjut Suahasil, berpotensi pula meningkatkan persentase inflasi di Indonesia. Namun, ia masih enggan menyebutkan prediksi berapa persen kenaikan inflasi. “Namanya harga barang naik ya bisa pengaruh ke inflasi. Harga tomat naik saja bisa berpengaruh terhadap inflasi,” ucap Suahasil.