TEMPO.CO, Buenos Aires - Pemerintah Indonesia memperjuangkan hak sebagai negara berkembang supaya bisa memperoleh pajak yang adil dari perusahaan-perusahaan digital yang beroperasi global seperti Facebook, Google , Twitter, Amazon, Lazada, Uber, Grab. Hal ini disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam pertemuan negara-negara G-20 di Argentina.
Dalam konteks ini, kata Sri Mulyani, upaya pemajakan bisa dilakukan dengan memaknai bahwa sumber pajak dan kewajiban pajak ditentukan bukan oleh lokasi kantor pusat atau cabangnya. Sumber pajak dalam hal ini bisa ditentukan oleh significant economic presence.
Baca: Kejar Target Pajak, Sri Mulyani Siapkan Kebijakan Radikal
Sri Mulyani menyebutkan, Indonesia akan terus menggunakan kerja sama internasional untuk memperjuangkan hak penerimaan pajak secara adil dan efektif. "Dalam menghadapi upaya-upaya penghindaran pajak baik oleh perseorangan maupun oleh perusahaan," katanya seperti dikutip dalam status Facebook yang diunggah, Rabu, 20 Maret 2018.
Pajak, menurut Sri Mulyani, adalah sumber pembangunan yang sangat berharga bagi suatu negara. Indonesia juga menyatakan dukungan agar bantuan teknis dan legal untuk negara-negara kecil dan berkembang harus diberikan agar mereka mampu mendapatkan hak penerimaan pajak secara adil.
Selain topik ini, Sri Mulyani juga membahas mengenai kerja sama perpajakan internasional. Setelah kemajuan dicapai dalam persetujuan Automatic Exchange of Information (AEOI) dalam perpajakan, fokus kerja sama saat ini adalah pada transparansi perpajakan dan pajak untuk ekonomi digital.
Sri Mulyani berharap OECD bisa menyampaikan rekomendasi kebijakan (common approach) yang akan dilakukan secara bersama dalam menghadapi era digital ekonomi. Semua negara menghadapi hal yang sama, yaitu digitalisasi ekonomi yang sudah dan akan semakin terjadi yang memberikan manfaat dalam bentuk peningkatan produktivitas dan efisiensi.
Meski begitu, kata Sri Mulyani, ancaman dari segi perpajakan adalah terjadi erosi basis pajak, dan kompleksitas penetapan di mana nilai tambah terjadi. Masih ada perbedaan pandangan mengenai letak sumber nilai tambah utama, yaitu pada konsumen dan sumber data dari mereka, atau pada sistem algoritma yang menyediakan platform bagi digitalisasi dan kegiatan e-commerce.
Selain itu juga telah terjadi persaingan tidak adil antara perusahaan digital dan perusahaan konvensional, termasuk dalam perlakukan pajak. "Semua menteri keuangan di dunia menghadapi tekanan tidak mudah, yaitu tantangan teknis dan politis bagaimana memperlakukan pajak yang adik dan efektif terhadap ekonomi digital dan e-commerce," ujar Sri Mulyani.