TEMPO.CO, Jakarta -Utang luar negeri pemerintah ke Cina terus merangkak naik. Berdasarkan data Bank Indonesia, utang Indonesia ke Cina meroket hingga 74 persen pada 2015. Pada 2014, total utang RI ke Cina adalah US$ 7,87 miliar. Angkanya melesat menjadi US$ 13,6 miliar pada 2015. Pada 2016, utang ke Cina menjadi US$ 15,1 miliar di 2016 dan US$ 16 miliar per Januari 2018.
Hingga akhir Januari 2018, total utang luar negeri RI adalah US$ 357,5 miliar. Pada 2010, posisi utang luar negeri berada di angka US$ 202,4 miliar. Utang itu adalah pinjaman pemerintah, bank sentral dan pihak swasta.
Ekonom Institute For Development of Economics and Finance atau Indef M. Rizal Taufikurrahman mengingatkan pemerintah agar mampu mengelola utang dengan baik. Sebabnya empat negara gagal membayar utang ke Cina karena strategi pembangunan infrastrukturnya yang masif.
"Ada negara yang gagal, mereka masif membangun infrastrukturnya dengan utang, tetapi yang terjadi mereka tidak bisa bayar utang," katanya dalam acara diskusi Indef, di Jakarta, Rabu, 21 Maret 2018.
Baca juga: Luhut Klaim Utang Pemerintah RI Lebih Kecil dari Malaysia
Empat negara yang gagal membayar utang adalah Zimbabwe, Nigeria, Sri Lanka dan Pakistan. Konsekuensinya beragam mulai dari mengganti mata uang menjadi Yuan hingga menukar pelabuhan dengan utang.
Ekonom Senior Indef Faisal Basri juga mengatakan pemerintah mengobral utang dengan Surat Berharga Negara (SBN) yang dimiliki pihak asing. Hal ini aman bila tak ada gejolak. Tapi pemerintah bisa tersandera asing apabila SBN dikuasai mereka.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan utang pemerintah digunakan untuk mendorong pembangunan infrastruktur. Hal ini mendorong roda perekonomian.
Selama utang digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan pendidikan, menurut peneliti Megawati Institute, Faishal Rahman, tidak masalah. "Dampaknya baru akan dirasakan di masa yang akan datang," kata dia, Rabu, 21 Maret 2018.
ZARA AMELIA | CHITRA PARAMAESTI | ADA PRIREZA