TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Rizal Ramli mengatakan, tata kelola beras nasional seharusnya tidak mengedepankan kebijakan yang sifatnya neoliberal karena tak bisa memperkuat sektor pangan secara berkelanjutan.
"Bagi neoliberal tidak penting pricing policy (kebijakan mematok harga)," kata Rizal Ramli dalam diskusi "Tata Kelola Perberasan serta Dampaknya Terhadap Stabilitas Nasional" di Jakarta, Selasa, 20 Maret 2018.
Padahal, ujar Rizal Ramli, sejumlah negara maju juga menggunakan pricing policy untuk beberapa komoditas, yang dihasilkan di dalam negeri.
Dengan demikian, kata Kepala Bulog pada masa Presiden Abdurrahman Wahid itu, ketika mengalami panen maka kalangan petani juga mendapatkan untung besar.
Untuk itu, mantan Menko Perkonomian itu juga menegaskan pentingnya kebijakan yang tidak hanya pro terhadap sektor pertanian, tetapi juga pro terhadap petani.
Ia menyatakan bahwa agar stabilitas pangan terjaga baik, salah satu caranya adalah dengan menerapkan pricing policy untuk sejumlah komoditas pangan atau pertanian.
Rizal juga menyoroti kebijakan pemerintah, yang dinilainya hanya fokus menaikkan produksi pangan tetapi kurang memperhatikan kesejahteraan petani.
"Sebab kalau untung, petani juga pasti akan senang untuk menaikkan produksi," ucapnya.
Pembicara lainnya, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB Dwi Andreas Santosa menyoroti masih adanya perbedaan data produksi beras seperti antara Kementan dengan lembaga FAS-USDA dari Amerika Serikat yang perbedaannya bisa mencapai 27.9 persen pada 2017.
Selain itu, ujar Dwi Andreas Santosa, bila dilihat dari citra satelit juga ada perbedaan dengan data yang dimiliki Kementan.
"Luas panen menurut kementan adalah 15,7 juta hektare, sedangkan citra satelit 11,3 juta hektare. Ada perbedaan yang sangat signifikan," paparnya.
ANTARA