TEMPO.CO, Jakarta- Lembaga keuangan asal Jerman, Deutsche Bank, merilis studi yang menyatakan produksi tembaga dan emas PT Freeport Indonesia bakal memasuki titik nadir. Tanpa pengembangan tambang bawah tanah, kinerja pengerukan Freeport bakal merosot karena produksi tambang terbuka Grasberg di Papua habis pada tahun ini.
"Tambang terbuka Grasberg tetap berlanjut sampai akhir 2018. Tapi nanti produksinya hanya berlangsung dari tempat penampungan atau stockpiles, bukan pertambangan," tulis Deutsche Bank dalam kajiannya, yang salinannya diperoleh Tempo.
Deutsche Bank menaksir produksi bijih (ore) Freeport akan turun ke 150 ribu ton per hari pada tahun ini, dibanding capaian tahun 2017 sebanyak 166 ribu ton per hari. Imbasnya, perusahaan hanya akan menjual 1,2 miliar pon tembaga--turun tipis dari tahun sebelumnya sebesar 1,3 miliar pon. Sedangkan produksi emas naik tipis dari 2,2 juta ons tahun 2017 ke 2,4 juta ons pada tahun ini.
Penjualan tembaga akan terus merosot hampir 50 persen pada tahun depan sebesar 700 juta pon. Pada periode yang sama, komoditas emas terimbas penurunan paling parah, hanya sebesar 1 juta ons atau terpangkas 58 persen. Penjualan Freeport hanya tertolong dari kinerja tambang bawah tanah. Jika operasinya sesuai rencana, tambang tersebut akan menambah produksi perusahaan mulai 2020 mendatang.
Namun kenaikan tersebut tidak serta merta membantu kinerja keuangan perusahaan. Pasalnya, Freeport bakal mengalokasikan pendapatan untuk ongkos pengembangan tambang bawah tanah. Bahkan, menurut Deutsche Bank, alokasi modal jumbo akan berlangsung mulai tahun ini sekitar US$ 1,1 miliar. Nilai belanja serupa akan bertahan hingga 2022.
Menurut Deutsche Bank, tuntutan belanja modal akan memangkas pendapatan sebelum pajak, bunga, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) hingga sekitar US$ 300 juta tahun ini. Pada 2020 dan 2021, Freeport tidak akan memperoleh EBITDA sepeser pun.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Bambang Susigit, membenarkan prediksi Deutsche Bank. Bahkan menurut dia, pendapatan Freeport bisa jauh di bawah prediksi. Tahun ini Kementerian Energi menaksir produksi bijih hanya mencapai 60 ribu ton per hari. "Sekarang produksinya sudah turun," katanya.
Head of Corporate Communications PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) Rendi Witular menyatakan perusahaannya sudah mengetahui kajian Deutsche Bank. Namun dia tidak menyebutkan apakah faktor tersebut mempengaruhi negosiasi pembelian 41 persen saham. "Kami mempunyai kalkulasi sendiri," tuturnya.
Sejauh ini, proses divestasi baru sampai pada penawaran harga saham dari Inalum ke Rio Tinto--penambang asal Australia yang memiliki 40 persen saham partisipasi Freeport mulai 2022. Perusahaan menargetkan bisa menguasai mayoritas kepemilikan pada Juni mendatang.
Juru Bicara
Freeport Riza Pratama menyatakan profil produksi perusahaannya sudah sesuai rencana. "Karena sifat dari penambangan dengan metode block caving ini, periode peningkatan produksi akan memakan waktu beberapa tahun," kata Riza. Dia mengklaim nilai jual Freeport tidak terpengaruh produksi yang turun.