TEMPO.CO, Jakarta - Temuan mikroplastik pada air minum dalam kemasan (AMDK), membuat perhatian publik kembali tertuju pada Badan Pengawas Obat dan Makanan atau Badan POM. Kepala Badan POM Penny K. Lukito mengakui memang belum ada standar kadar aman kandungan mikroplastik dalam AMDK. Sebab, menunggu World Health Organization (WHO) sebagai organisasi kesehatan dunia mengeluarkan batasan kandungan mikroplastik dalam standar air minum.
Namun, Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi berpendapat, atas nama perlindungan konsumen, seharusnya Badan POM tak menunggu WHO mengeluarkan standar. "Semua merek AMDK harus diaudit kadar kandungan mikro plastiknya," ujar Tulus saat dihubungi Tempo pada Senin, 19 Maret 2018.
Baca: BPOM: Belum Ada Studi Bahaya Mikroplastik di Air Minum Kemasan
Tulus Abadi menyebut, produsen yang tidak mencantumkan kandungan mikroplastik dalam komposisi AMDK, bisa dikategorikan melanggar UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. "Karena semua konten harus disebutkan, terlepas aman atau tidak. Karena dalam hal ini, berpotensi terjadi pelanggaran hak atas informasi kepada konsumen," ujarnya.
Untuk itu, lanjut Tulus, Badan POM harus secepatnya menetapkan standar baru, terkait mikroplastik pada air minum dalam kemasan. "Harus ada standar apakah masih kategori aman atau tidak. Yang jelas konsumen punya hak atas keamanan, keselamatan dalam mengonsumsi produk. Ini yang dijamin dalam UU Perlindungan Konsumen," ujarnya.
Kepala Badan POM Penny K. Lukito menilai tak perlu ada pernyataan bahwa produk air minum dalam kemasan mengandung mikroplastik. "Untuk apa? Yang penting adalah standar yang menunjukkan bahaya kandungan tersebut. Jika belum ada kajian yang menunjukkan efek negatif mikroplastik terhadap kesehatan, produk tersebut masih bisa dikonsumsi. Sekarang kita tinggal memilih apakah mau mengambil risiko dengan mengkonsumsi produk tersebut atau tidak," ujar Penny seperti dikutip dalam Majalah Tempo terbitan Senin, 19 Maret 2018.
Dia mengklaim, jika selama ini Badan POM sudah memiliki laboratorium air untuk mengawasi air minum dalam kemasan. "Air minum termasuk dalam prioritas kami. Karena itu, setiap tahun selalu ada laporan uji sampel air minum dari semua Balai Besar POM. Kami mengujinya hingga aspek higienitas. Sejauh mana terdapat kontaminasi bakteri," ujarnya.
Namun, terkait dengan mikroplastik, lanjutnya, sampai saat ini memang belum ada standar kadar aman konsumsi. Sehingga, pihaknya saat ini mendorong WHO membuat kajian sehingga bisa menjadi referensi dalam menetapkan standar air minum.
Berdasarkan hasil penelitian global State University of New York at Fredonia yang didukung Orb Media, organisasi media nirlaba di Amerika Serikat, air minum dalam kemasan yang beredar luas di pasar ternyata mengandung mikroplastik. Penelitian dilakukan dengan menguji 259 botol air minum dari 11 merek yang dijual di delapan negara.
Hasilnya, 93 persen air botolan yang menjadi contoh ternyata mengandung mikroplastik. Sampel juga diambil dari Indonesia karena menjadi salah satu negara dengan pangsa besar air minum dalam kemasan. Sebanyak 30 botol Aqua yang dibeli di Jakarta, Bali, dan Medan, diterbangkan ke New York pada November 2017 untuk diuji oleh tim dari University of New York at Fredonia. Hasilnya mencengangkan. Setiap botol Aqua yang menjadi sampel rata-rata mengandung 382 mikroplastik partikel per liter.
MAJALAH TEMPO I TIM INVESTIGASI TEMPO