TEMPO.CO, Jakarta - Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia Ari Kuncoro berpendapat utang luar negeri pemerintah masih dalam posisi yang aman karena masih memiliki solvency yang mampu untuk dibayarkan. "Bunga utang kita masih di kisaran 7 persen dan GDP nominal kita adalah 5 persen, ditambah dengan inflasi kita 3,5 persen. Jadi masih bisa dibayar, lah," katanya, Jumat, 16 Maret 2018.
Ari menjelaskan, solvency adalah kemampuan suatu institusi untuk membayarkan utangnya. Sementara itu, dalam konteks utang negara, solvency adalah selisih dari bunga utang yang dibayarkan dengan pertumbuhan gross domestic bruto (GDP) nominal.
Baca: Utang Pemerintah Tembus Rp 4.035 T, Kemenkeu: Negara Mampu Bayar
Oleh karena itu, Ari mengatakan pemerintah harus menjaga pertumbuhan ekonomi agar tetap dalam level yang aman. Menurut dia, penggunaan utang selama ini sudah sangat baik karena ditransfer ke sektor yang produktif, yakni untuk membangun infrastruktur.
Pinjaman luar negeri yang disalurkan ke sektor bangunan mencapai US$ 7,75 miliar, atau 13,9 persen dari US$55,66 miliar. Porsi utang yang dimiliki pemerintah saat ini (29,1 persen per GDP) atau lebih rendah dari yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang (60 persen per GDP).
Hal yang paling terpenting, menurut Ari, adalah sejauh ini pemerintah telah berhasil menjaga kredibilitasnya. Dengan begitu, utang diambil dengan bunga lebih rendah dan kreditor juga percaya piutang yang diberikan akan tetap terbayarkan.
Hal tersebut juga yang menyebabkan negara seperti Jepang dan Amerika berani meminjam utang dengan jumlah besar. "Utang Jepang itu lebih dari dari dua kali GDP-nya, dan utang Amerika juga lebih dari GDP-nya," kata Ari.
Mengenai penyaluran utang luar negeri yang kurang tersalurkan ke sektor manufaktur, Ari mengatakan hal tersebut merupakan sesuatu yang normal. Sektor tersebut bukan sektor yang mengandalkan utang sebagai pondasi pembiayaan investasinya. "Memang normal, sektor manufaktur lebih mengandalkan laba tertahan dan modal ventura, mereka hanya mengunakan utang untuk membiayai pengeluaran jangka pendeknya."
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, utang yang tersalurkan ke pertanian, peternakan, perhutanan, perikanan dan industri pengolahan hanya US$ 1,69 miliar. Angka itu setara dengan 3,1 persen dari total pinjaman luar negeri US$ 55,66 miliar.