TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan ekspor nonmigas Indonesia masih terpaku pada tiga negara utama, yakni Cina, Amerika Serikat, dan Jepang. BPS mencatat, penjualan ke tiga negara itu berkontribusi 36,34 persen pada Februari 2018.
Menurutnya ekspor nonmigas ke Tiongkok, Amerika Serikat, dan Jepang masing-masing mencapai US$ 2.063,4 juta, US$ 1.287,8 juta, dan US$ 1.266,2 juta. "Share turun ke Amerika karena lebih agresif ke Tiongkok," kata Suhariyanto di gedung BPS Indonesia, Pasar Baru, Jakarta Pusat, Kamis, 15 Maret 2018.
Baca:BPS: Amerika Masih Jadi Pasar Ekspor Nonmigas Terbesar
Suhariyanto memaparkan, total ekspor nonmigas sepanjang Januari-Februari 2018 mencapai 90,53 persen. Kontribusi ekspor nonmigas terdiri dari tiga sektor, yakni 72,68 persen industri pengolahan, 1,72 persen pertanian, serta 16,13 persen pertambangan dan lainnya. "Jadi kalau ada sesuatu pada industri pengolahan, pengaruhnya akan besar di ekspor," ujar Suhariyanto.
Ada 10 golongan barang yang berkontribusi 36,83 persen terhadap total ekspor nonmigas di Februari 2018. Angka itu naik 29,15 persen di periode yang sama pada 2017.
Komoditi ekspor nonmigas yang meningkat antara lain timah US$ 163,8 juta (404,94 persen); bijih, kerak, dan abu logam US$ 36,7 juta (9,54 persen); kapal laut US$ 22,7 juta (91,38 persen); nikel US$ 22,3 juta (48,14 persen); serta kertas atau karton US$ 10,2 juta (3,03 persen).
Sementara komoditi yang nilai ekspornya menurun, yakni mesin atau peralatan listrik US$ 86,6 juta (12,04 persen); alas kaki US$ 84,2 juta (18,19 persen); bahan bakar mineral US$ 79 juta (3,93 persen); besi dan baja US$ 76,5 juta (19,17 persen); serta pakaian jadi bukan rajutan US$ 53,2 juta (12,91 persen).
Dari itu semua, total ekspor Indonesia pada Februari 2018 menurun 3,14 persen dibandingkan Januari 2018, yaitu dari US$ 14.553,4 juta menjadi US$ 14.096,8 juta. Penyebabnya ekspor nonmigas menurun 3,96 persen dari US$ 13.229,8 juta menjadi US$ 12.705,9 juta. Penurunan bisa terdongkrak karena ekspor migas naik 5,08 persen dari US$ 1.323,6 juta menjadi US$ 1.390,9 juta.
Suhariyanto menilai Indonesia perlu memperluas pasar ekspor non tradisional. Tak hanya itu, peningkatan nilai tambah produk ekspor juga penting. "Mengembangkan diversifikasi (penganekaragaman) barang-barang ekspor yang menghasilkan banyak nilai tambah," ujarnya.