TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Keuangan PT Pertamina (Persero) Arief Budiman mengatakan bahwa keputusan pemerintah yang tidak menaikkan harga Premium dan Solar hingga 2019 membuat Pertamina harus menanggung selisih harga BBM yang cukup besar.
Dengan harga Indonesia Crude Price (ICP) berada di kisaran US$ 60 per barel, maka selisih yang ditanggung Pertamina untuk jenis Premium sekitar Rp 800-Rp 1.000 per liter. Sedangkan untuk jenis Solar selisih yang ditanggung mencapai Rp 1.500-Rp 1.800 per liter. Saat ini, harga Premium Rp 6.450 per liter, sedangkan solar Rp 5.150 per liter.
Baca: Sri Mulyani Jamin Harga BBM dan Listrik Tak Akan Naik
Arief melanjutkan, kendati Pertamina akan mendapat tambahan subsidi solar sebesar Rp 500 per liter dari pemerintah, jumlah tersebut belum mampu menutup beban dari selisih harga dari Premium dan Solar. Untuk Solar saja, Pertamina masih harus menanggung selisih sebesar Rp 1.000 per liter.
Saat ini Pertamina masih mengacu pada harga rata-rata ICP tahun 2016 sebesar US$ 40 per barel dalam menentukan harga jual Premium dan Solar. "Sekarang sudah di sekitar US$ 60, memang ada sebagian yang harus kita tanggung," ujar Arief di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu, 14 Maret 2018.
Namun demikian, Arief berujar adanya tambahan subsidi pemerintah akan membantu meringankan beban Pertamina sekitar 7,8 triliun.
Direktur Pemasaran Pertamina, M.Iskandar tidak naiknya harga Premium menyebabkan selisih harga antara Premium dan Pertalite menjadi semakin besar. Hal tersebut berpotensi mendorong masyarakat akan kembali beralih menggunakan Premium yang jauh lebih murah.
Dengan selisih harga BBM yang makin jauh antara Premium dan Pertalite ini, menurut Iskandar, akan kontraproduktif di lapangan. "Masyarakat kita ini menjadi kepancing lagi, shifting lagi, balik lagi ke produk yang murah," kata Iskandar.