TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia (BI) optimistis nilai tukar rupiah akan berbalik menguat, setelah sempat melemah hingga ke level 13.800 per dolar AS beberapa waktu lalu. Nilai rupiah tercatat kembali menguat dan relatif stabil sejak akhir pekan lalu, dan kemarin telah berada di level 13.739 per dolar AS.
“BI berusaha agar tren positif ini bisa dipertahankan dan rupiah kembali lagi ke level yang kami pandang cukup aman sesuai fundamentalnya,” ujar Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Doddy Zulverdi, di Jakarta, Rabu 14 Maret 2018.
Doddy menuturkan faktor penyebab penguatan rupiah itu di antaranya berasal dari kondisi pasar global, khususnya perekonomian AS. “Beberapa hari terakhir ini muncul data yang membuat investor di pasar keuangan merevisi lagi ekspektasi terhadap kenaikan suku bunga acuan AS (Fed Fund Rate).” Data yang dimaksud seperti data inflasi dan upah tenaga kerja AS yang tak setinggi prediksi pasar sebelumnya.
Simak: Harapan Bank Indonesia Soal Redenominasi Rupiah
Sehingga, kenaikan Fed Fund Rate yang tadinya sempat diperkirakan mencapai lebih dari tiga kali di tahun ini pun mulai mereda. “Jadi kemungkinan tidak sebesar itu, maka ini menciptakan ketenangan di pasar keuangan global, beberapa pejabat The Fed juga cenderung tidak terlalu berambisi menaikkan suku bunga secara cepat,” ucapnya,
Meskipun mulai berbalik menguat, menurut Doddy nilai saat ini masih berada di atas fundamentalnya. Sebab, kondisi perekonomian domestik saat ini tengah kondusif, khususnya dari sisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang terjaga. “Kami yakin harusnya bisa lebih kuat lagi dibandingkan level yang sekarang ini, terutama setelah FOMC Meeting 21 Maret nanti selesai secara historis biasanya semakin mendekati itu semakin mereda gejolaknya.”
Gejolak nilai tukar terjadi jauh sebelum adanya kepastian kenaikan Fed Fund Rate, karena pelaku pasar memilih untuk wait and see. “Sekarang kami lihat tampaknya sebagian pelaku pasar keuangan sudah price in atau memasukkan apa yang akan diputuskan The Fed nanti di aktivitas pasar keuangan global,” katanya.
Doddy berujar volatilitas nilai tukar rupiah hingga Maret ini mencapai 8 persen, dan pihaknya berkomitmen untuk tetap mewaspadai tekanan global yang mungkin saja masih berlanjut. Bentuk intervensi BI di pasar untuk menstabilkan rupiah salah satunya tercermin pada posisi cadangan devisa Februari yang menurun dibandingkan Januari lalu, dari US$ 131,98 miliar menjadi US$ 128,06 miliar. “Ketika dibutuhkan kami akan menggunakan cadangan devisa secara optimal sebanyak yang dibutuhkan, jadi ini seperti asuransi ketika kita mengalami tekanan.”
Lembaga rating Standard and Poor’s (S&P) sebelumnya mengingatkan pemerintah untuk mewaspadai kemungkinan pelemahan rupiah hingga ke level 15.000 per dolar AS. Ihwal pernyataan S&P tersebut, Doddy menuturkan itu bukan bersifat proyeksi melainkan kajian level psikologis untuk menguji resiliensi dunia usaha. “Berapa pun level yang muncul itu sifatnya psikologis saja seperti stressed test, tapi kami tidak melihat ada risiko ke arah sana.”
Senior Director Corporate Ratings S&P Xavier Jean mengatakan pelemahan rupiah bisa berlangsung cepat, berkaca pada kondisi di 2015 lalu di saat rupiah melemah drastis dari 12.000 ke 15.000 per dolar AS. “Kami melihat level ini akan menimbulkan tekanan finansial untuk banyak perusahaan, jadi ini akan berpengaruh pada kepercayaan investor,” ujarnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listyanto menambahkan risiko ketidakpastian di pasar keuangan global di satu sisi masih cukup tinggi, sebab tak hanya bersumber pada spekulasi kenaikan Fed Fund Rate saja. “Faktor utamanya memang kenaikan suku bunga AS, tapi jangan lupa juga berbagai ancaman kebijakan baru Donald Trump yang akan ikut memperparah situasi ketidakpastian global,” ucapnya.
Kebijakan itu di antaranya terkait dengan perdagangan AS, seperti tarif bea masuk untuk baja dan aluminium. “Akibatnya pasar baja dan aluminium akan dialihkan negara berkembang seperti Indonesia, sehingga permintaan dolar untuk membelinya juga meningkat, rupiah bisa melemah.”
Kombinasi kedua hal itu diyakini tetap akan membayangi kondisi perekonomian negara berkembang. Sehinggam fluktuasi nilai tukar masih harus diwaspadai. Menurut Eko, untuk bisa meminimalisasi volatilitas rupiah yang terlalu tinggi, pemerintah perlu berupaya untuk meredamnya melalui optimisme indikator perekonomian domestik. “Kalau pertumbuhan ekonomi triwulan 1 misalnya nggak mengarah ke 5,4 persen, investor akan pesimis lagi, rupiah fluktuatif,” katanya. Selain itu, neraca perdagangan Indonesia yang positif diharapkan juga dapat menjadi sumber pendorong perbaikan nilai tukar.
GHOIDA RAHMAH | DEWI NURITA