TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengemukakan PT Freeport Indonesia masih beroperasi sesuai dengan rencana pertambangannya. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Bambang Gatot Ariyono, mengatakan lembaganya belum menerima laporan terkait persoalan penanganan pasir sisa tambang (tailing). "Bisa dicek ke Amdalnya. Sejauh ini tidak ada masalah)" ujar Bambang kepada Tempo, Senin 12 Maret 2018.
Bambang mengklaim tidak menerima laporan Badan Pemeriksa Keuangan mengenai kerusakan lingkungan hidup akibat pasir sisa tambang Freeport. Dia menyatakan tidak menerima satu pun surat yang berisi rekomendasi BPK untuk pemerintah. "Surat yang mana? tunjukan ke saya," tutur dia. Padahal, BPK menuturkan sudah menyerahkan penanganan rekomendasinya ke Kementerian Energi. "Kalau tindak lanjut adanya di kementerian," kata Juru Bicara BPK Raden Yudi Ramdan Budiman.
Auditor pelat merah itu memeriksa kepatuhan Freeport terhadap regulasi lingkungan pada Mei tahun lalu. Hasilnya, pasir sisa tambang Freeport meluber dari hulu sungai hingga ke laut. Limbah juga menyebar ke daerah aliran sungai lainnya di pesisir kabupaten Mimika, Papua. BPK mencatat potensi kerugian akibat kerusakan mencapai Rp 185 triliun.
Musabab pencemaran, menurut BPK, berawal dari kolam penampungan (Modified Ajkwa Deposition Area/ModADA) tidak mampu menampung debit limbah. Titik penataan limbah di areal kolam sudah hilang lantaran tertimbun pasir sisa tambang.
Juru Bicara Freeport Indonesia Riza Pratama tidak menjawab konfirmasi Tempo terkait sejauh mana perusahaan mematuhi rekomendasi BPK. Namun, sebelumnya Riza menyatakan aktivitas pertambangan pasti mengubah bentang alam. Risiko tersebut termuat dalam dokumen Amdal yang disepakati pemerintah tahun 1997.
Berdasarkan laporan tahunan Freeport ke Komisi Sekuritas dan Bursa Amerika Serikat, perusahaan sebenarnya mendapat masukan dari pemerintah untuk mengailiri pasir sisa tambang melalui pipa khusus. Saat ini, limbah dialiri dari tambang ke ModADA melalui sungai.
Tapi manajemen menolaknya lantaran cara tersebut berbiaya mahal. "Skema jaringan pipa akan memakan biaya, sulit untuk dibangun dan dirawat, dan berisiko tinggi," tulis manajemen
Freeport McMoran, induk usaha Freeport Indonesia, dalam laporannya.