TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah organisasi mendesak Kementerian Ketenagakerjaan menyelidiki kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh PT Freeport Indonesia terhadap pekerjanya. Kasus dugaan pelanggaran HAM itu bermula dari aksi mogok kerja oleh ribuan karyawan PT Freeport Indonesia yang berujung pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
Salah satu anggota Trade Union Rights Center (TURC), Andy Akbar, mengecam Kementerian Ketenagakerjaan yang dianggap tutup mata terhadap kasus ini. “Ada sifat pasif dari Kemenaker karena pelanggaran ini masif, tapi kemudian Kemenaker melalaikan fungsinya sebagai pembina hukum ketenagakerjaan,” ucapnya dalam acara pemaparan laporan "Kondisi HAM Ribuan Pekerja PT Freeport Indonesia" di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu, 11 Maret 2018.
Baca: Karyawan Freeport: Kasus Mogok Kerja Pekerja Belum Selesai
Ribuan pekerja PT Freeport Indonesia dan subkontraktornya melakukan aksi mogok kerja sejak 1 Mei 2017 lalu atau bertepatan dengan peringatan Hari Buruh International (May Day). Mereka menuntut manajemen PT Freeport Indonesia menghentikan program furlough, mempekerjakan kembali karyawan yang terkena furlough, serta mengembalikan semua pekerja yang mogok di Timika, Papua, tanpa PHK. Mereka juga mendesak PT Freeport Indonesia untnikan tindakan kriminalisasi terhadap para pengurus serikat pekerja.
Menurut Andy, Kementerian Ketenagakerjaan tidak menjalankan tugasnya untuk menindak PT Freeport Indonesia secara hukum atas pelanggaran tersebut. Kementerian, termasuk Dinas Ketenagakerjaan Timika, Papua, juga dianggap lalai dalam mengawasi pemenuhan hak-hak pekerja perusahaan tambang itu.
“Kami mendesak Kemenaker bahwa masalah ini harus disikapi secara professional, netral, dan independen untuk mengawasi, menindak, serta menegakkan hukum. Kami harap ada respons positif dari Kemenaker,” kata Andy.
Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) juga ikut mendesak Kementerian Ketenagakerjaan menyelidiki dan menindak dugaan pelanggaran HAM pekerja tersebut. Anggota KPRI, Sastro, mengatakan kasus ini bisa berdampak luas jika terus diabaikan.
“Para pekerja yang diberangus itu punya anak dan istri sehingga jika dibiarkan korbannya bisa semakin banyak,” ujarnya.
Kuasa hukum pekerja PT Freeport Indonesia dari Kantor Hukum dan HAM Lokataru, Nur Kholis, mengatakan ada sejumlah dugaan pelanggaran aturan ketenagakerjaan oleh perusahaan tambang tersebut. Pertama, PT Freeport Indonesia disebut melanggar Pasal 28 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh. Nur menyebut PT Freeport Indonesia sengaja menghalangi aktivitas serikat buruh yang dilindungi undang-undang tersebut. Kedua, PT Freeport Indonesia juga dianggap melanggar 143 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyebutkan larangan penghalangan kebebasan buruh untuk berserikat.
Ketiga, perusahaan tambang itu juga disebut menabrak Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. PT Freeport Indonesia terancam undang-undang tersebut karena menghentikan keikutsertaan karyawannya dalam program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Nur melaporkan ada 18 orang yang meninggal akibat persoalan tersebut. Sebanyak 16 pekerja meninggal karena sakit akibat penghentian keikutsertaan BPJS Kesehatan oleh PT Freeport Indonesia. Kemudian ada sekitar 19 peserta mogok kerja yang ditangkap atas tuduhan perusakan dan penghasutan. Hingga kini, sembilan di antaranya masih menjalani sidang.