TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menilai lonjakan nilai investasi proyek kereta cepat Jakarta-Bandung sebesar Rp 1,13 triliun berada dalam batas wajar. Sebab, nilai tersebut masih dalam jangkauan angka keamanan yang tersedia.
Baca: Melonjak Rp 500 Ribu, Budi Karya: Tiket Kereta Cepat Belum Final
"Jadi kalau masih 1 triliun, itu bisa di-cover," kata Budi saat ditemui selepas acara bincang santai Site Visit Pembangunan Perkeretaapian di daerah Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, 24 Februari 2018. Terlebih, kata dia, ada asuransi proyek tersedia jika melebihi nilai investasi.
Budi meyakini korporasi yang terlibat dalam proyek ini, yaitu PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), telah menyiapkan langkah untuk menyelesaikan masalah pembiayaan. Menurut dia, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan KCIC harus tetap didukung menuntaskan proyek ini. "Saya dengar akan mulai melaksanakan dalam bulan Maret ini," ujar Budi.
Di tengah perkembangan pembebasan lahan yang masih tersendat, PT KCIC baru-baru ini mengumumkan lonjakan nilai investasi pada proyek kereta sepanjang 142 kilometer ini. Jika semula nilainya Rp 81,53 triliun, maka kemudian menjadi Rp 82,67 triliun.
Pelaksana tugas Direktur Utama PT KCIC, Dwi Windarto, mengatakan ongkos asuransi proyek dan beban pelindung pinjaman terhadap volatilitas yang tak terduga atau debt service reserve account (DSRA) menjadi penyebabnya. "Kenaikan nilai proyek telah disepakati," kata dia, Selasa, 20 Februari 2018 lalu.
Namun angin segar disampaikan Menteri BUMN Rini Soemarno sehari sebelumnya. Menurut Rini, pinjaman tahap awal sebesar US$ 500 juta (sekitar Rp 6,7 Triliun) dari China Development Bank cair Maret 2018. Pencairan ini merupakan bagian dari keseluruhan pinjaman yang disetujui CDB sebesar US$ 5,9 miliar (Rp 79 Triliun).
Baca: Rencana Rute Kereta Cepat Hingga Kertajati, KCIC: Welcome tapi...
Budi menambahkan, bahwa proyek kereta cepat ini murni urusan Business to Business (B to B). Pemerintah telah menyerahkan urusan pembiayaan kepada PT KCIC, yang merupakan hasil urunan antara konsorsium Indonesia dan Cina. "Tidak ada subsidi operasional untuk ini," kata dia.
FAJAR PEBRIANTO