TEMPO.CO, Jakarta -Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat tengah merevisi aturan penunjukan presiden komisaris dan direktur utama perusahaan Badan Usaha Milik Negara. Hal ini dilakukan akibat maraknya kecelakaan kerja di sejumlah proyek konstruksi.
Wakil Ketua Komisi VI DPR Azam Asman mengatakan nantinya pemerintah harus membicarakan penunjukan presiden komisaris dan direktur utama dengan dewan. Adapun aturan yang tengah direvisi yakni Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
"Kami akan merevisi UU 19 tahun 2003, penunjukan presiden komisaris dan direktur utama harus dibicarakan dengan DPR," kata Azam dalam diskusi "Proyek Infrastruktur: Antara Percepatan dan Pertaruhan" di Cikini, Jakarta, Sabtu, 24 Februari 2018.
Azam mengungkapkan, aturan itu menugaskan komisaris utama memberikan arahan kepada direksi perseroan dalam menjalankan tugasnya. Dengan demikian, ujar Azam, komisaris utama harus memiliki kualifikasi dan kompetensi dalam menjalankan tugasnya.
Azam pun mempertanyakan apakah para komisaris utama perusahaan pelat merah sudah menjalankan tugasnya terhadap perseroan dengan baik. Musababnya, dia menemukan sejumlah komisaris utama yang merangkap jabatan.
"Kalau merangkap, apalagi punya jabatan struktural di pemerintahan, kapan dia bisa memberikan arahan dan pengawasan? Ini jadi masalah terhadap keberlangsungan dan perjalanan BUMN dengan baik," kata Azam.
Azam mengatakan, pembahasan revisi aturan tersebut telah dimulai sejak tahun lalu. Komisi VI pun menargetkan pembahasan revisi rampung pada akhir tahun ini.
"Akhir tahun ini paling lambat. Harusnya tahun kemarin, tapi banyak hal yang harus kami selesaikan sehingga agak molor," ucapnya.
Persoalan manajerial perusahaan pelat merah menjadi salah satu yang disoroti dalam kasus kecelakaan kerja yang marak terjadi belakangan ini. Ketua Masyarakat Konstruksi Indonesia, Harun Alrasyid Lubis mengatakan ada persoalan organisasi yang terjadi di perusahaan BUMN karya yang mendapat penugasan untuk membangun infrastruktur.
Harun mengatakan, perusahaan pelat merah tersebut mendapat penugasan yang terlampau besar dengan target waktu pendek. Namun, ujar Harun, sumber daya yang ada, baik sumber daya manusia maupun pembiayaan, tidaklah mencukupi. Kecelakaan kerja terakhir terjadi di proyek Becakayu.