TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat ekonomi Universitas Indonesia, Faisal Basri mengkritik program swasembada garam yang selalu digembar-gemborkan oleh pemerintah. Faisal mengatakan, swasembaga garam di Indonesia juga seringkali tak berdasarkan data yang komprehesif.
Lebih jauh kata Faisal, swasembada juga tidak berkaitan langsung dengan rasa kedaulatan Indonesia. "Ekspor atau impor ini biasa. India yang produksi garamnya terbesar ke-3 di dunia, apakah tidak impor? Impor lah, mengingat beragam jenis garam itu," kata Faisal di Restoran Bebek Bengil, Menteng, Jakarta, Kamis, 22 Februari 2018.
Simak: Pemerintah Akan Permudah Impor Garam untuk Industri
Pernyataan itu disampaikan oleh Faisal dalam launcing dan diskusi buku berjudul diskusi "Hikayat Si Induk Bumbu, Jalan Panjang Swasembada Garam." Faisal Basri sendiri hadir sebagai salah satu penulis buku bersama Misri Gozan, guru besar Teknik Kimia Universitas Indonesia. Hadir pula dalam launcing dan diskusi buku tersebut adalah Daniel Johan, anggota Komisi Pertanian DPR, dan juga Direktur Jasa Kelautan, Kementerian Kelautan, Abduh Nurhidayat.
Menurut Faisal, opsi impor juga menjadi pilihan yang tak bisa dihindari. Sebab kebutuhan akan garam yang selalu naik, tidak selalu diimbangi dengan produksi dan ketersedian garam yang cukup terutama pada sektor industri.
"Kalau dilihat dari gambaran sekarang, yang realistis adalah memenuhi kebutuhan garam rumah tangga dan industri dengan fleksibilitas. Jadi jangan swasembada yang dikunci, karena swasembada jadi ngga boleh impor," kata dia.
Faisal juga mengatakan, kendala produksi juga terjadi akibat banyak sekali lahan-lahan pantai saat yang lebih banyak digunakan sebagai turisme dibandingkan untuk produksi garam.
Anggota Komisi Pertanian DPR RI, Daniel Johan juga mengatakan bahwa tidak semua hal harus swasembada. Apalagi, kata dia, garam bukanlah produk unggulan.
Sebab, kata Daniel, hal ini mengingat Indonesia adalah negara tropis. "Karena kita negara tropis, sehingga menjadikan udara lembab ditambah lagi curah hujan tinggi," kata Daniel.
Menurut Daniel, curah hujan yang tinggi tersebut menyebabkan produksi garam Indonesia menjadi rendah. Termasuk menyebabkan kualitas garam juga rendah.
Daniel juga berujar hal ini wajar lantaran antara produksi yang dihasilkan dengan kebutuhan tersebut tidak seimbang. Dia menyampaikan bahwa lahan produksi garam di Indonesia ada sekitar 200 ribu hektar dengan produksi rata-rata mencapai 2,6 juta ton. Sedangkan kebutuhan tiap tahun garam di Indonesia tersebut mencapai 4 juta ton, dengan rincian 2,2 juta ton untuk industri dan sisanya 1,8 juta ton untuk konsumsi.