TEMPO.CO, Jakarta - Kabinet Arab Saudi telah menyetujui undang-undang kepailitan untuk membuat kerajaan tersebut semakin menarik bagi para investor, kata seorang sumber, Minggu, 18 Februari 2018.
Perundang-undangan kebangkrutan modern saat ini tidak ada di Arab Saudi, sehingga mempersulit perusahaan yang berupaya untuk merestrukturisasi utang mereka dengan para kreditor sejak krisis keuangan global 2009 dan, baru-baru ini, penurunan harga minyak.
Kerajaan sedang memulai usaha yang intensif untuk merombak ekonominya - termasuk memperbarui undang-undang lama - karena berusaha menciptakan iklim yang ramah investor guna mendorong penjualan aset, seperti penawaran umum perdana dari Saudi Aramco.
"Waktunya sangat bagus," kata Bader al-Busaies, managing partner di biro hukum Al Suwaiket & Al Busaies.
"Banyak perusahaan menghadapi kesulitan keuangan. Sebelum itu likuidasi atau pemegang saham harus menyuntikkan uang. Hukum baru adalah solusi alternatif - praktik internasional telah membuktikan bahwa hukum kepailitan menawarkan solusi yang baik bagi perusahaan-perusahaan."
Raja Salman mendukung undang-undang kepailitan setelah kabinet menyetujuinya, kata sumber tersebut, mengutip sebuah dokumen yang ditandatangani pekan lalu.
Kementerian Perdagangan dan Investasi Saudi tidak menanggapi permintaan konfirmasi. Belum diketahui kapan undang-undang tersebut akan diberlakukan.
Dewan Syura Arab Saudi, badan penasihat tertinggi pemerintah, pada Desember 2017 menyetujui sebuah rancangan undang-undang kepailitan yang terdiri dari 231 pasal dalam 17 bab. RUU ini mengatur prosedur kebangkrutan seperti penyelesaian dan likuidasi, untuk perorangan maupun perusahaan lokal dan asing.
Tidak ada rincian dari kerangka undang-undang yang telah dikeluarkan itu, namun versi draft sebelumnya menciptakan sebuah ketentuan persetujuan kesepakatan restrukturisasi utang dapat dicapai jika setidaknya dua pertiga kreditor menyetujui rencana tersebut.
RUU itu mungkin bisa membantu menyelesaikan perselisihan utang yang terjadi seperti yang dihadapi oleh Ahmad Hamad Algosaibi and Brothers (AHAB), konglomerat lokal yang saat ini memiliki dua pertiga dukungan kreditor untuk proposal utangnya.
AHAB dan perusahaan lain, Saad Group, gagal bayar pada 2009 dalam kehancuran keuangan terbesar di Arab Saudi, membuat bank-bank internasional dan regional serta kreditor lainnya berutang sekitar 22 miliar dolar AS.
ANTARA