TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan perluasan pasar negara tujuan ekspor menjadi salah satu prioritas yang harus dilakukan untuk meningkatkan kinerja ekspor saat ini. Pasar alternatif dengan potensi besar yang dimaksud adalah Amerika Latin, Eropa Timur, Rusia, hingga Afrika.
“Sekarang hampir 70 persen pasar kita adalah pasar yang itu-itu aja, Cina, India, Eropa, dan Amerika,” ujarnya, kepada Tempo, Jumat 16 Februari 2018. Menurut dia, diplomasi perdagangan internasional harus dioptimalkan.
Bhima melanjutkan kualitas ekspor saat ini juga tak sehat karena sangat bergantung pada komoditas mentah. “Jadi ketika harga komoditas cenderung menurun seperti sekarang atau tidak sebaik 2017 mengakibatkan ekspor kita juga menurun, ini harus diakhiri dengan memberikan nilai tambah,” ucapnya.
Simak: INDEF: Kinerja Utang Luar Negeri Kurang Produktif
Dia berujar pemerintah harus serius mendorong industri pengolahan serta industri lain yang berorientasi ekspor. “Izinnya dipermudah, insentif fiskal ditambah, investasi digenjot.” Dengan demikian nilai dan kualitas ekspor dapat meningkat. Tren pertumbuhan ekspor jika masih banyak bergantung pada komoditas mentah seperti kelapa sawit dan batu bara diperkirakan hanya akan berada di kisaran 7 persen tahun ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya menyampaikan neraca perdagangan Indonesia pada Januari 2018 defisit sebesar US$ 670 juta. Hal itu disebabkan oleh total nilai ekspor yang lebih rendah dibandingkan dengan total nilai impor. Adapun total ekspor pada Januari adalah US$ 14,46 miliar dan total nilai impor US$ 15,13 miliar. “Defisit ini dipicu oleh sektor migas yang defisit US$ 0,86 miliar, meskipun sektor non migas telah surplus US$ 0,18 miliar,” kata Kepala BPS Suhariyanto.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan kenaikan impor di satu sisi juga menunjukkan pergerakan aktivitas ekonomi karena kebutuhan bahan baku dan barang modal. Tapi, hal itu juga membutuhkan antisipasi peningkatan nilai ekspor. “Kalau melihat dari sisi komponennya memang ini akan selalu menjadi sesuatu yang harus kita jaga, di satu sisi defisit itu kan menggambarkan impor meningkat tajam,” ucapnya.
Menurut Sri Mulyani, kemampuan ekspor tetap harus ditingkatkan yang juga disertai dengan peningkatkan produksi dalam negeri yang berkualitas ekspor. “Sehingga defisit dari impor ini tidak menyebabkan persepsi tentang risiko eksternal kita.”
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara menambahkan peningkatan impor tersebut sejalan dengan peningkatan investasi sepanjang tahun lalu. “Akselerasi impor ini mendukung data Produk Domestik Bruto (PDB) investasi yang mengalami kenaikan,” ujarnya. Bank Indonesia mencatat kenaikan impor pada Januari 2018 di satu sisi menunjukkan adanya perbaikan atau pemulihan perekonomian domestik.
Mirza melanjutkan defisit neraca perdagangan pun berdampak pada peningkatan defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD) yang diprediksi mencapai 2,1 persen dari PDB. “Memang agak naik sedikit, tapi itu masih pada level yang sehat, karena tahun lalu 1,7 persen, sedangkan tahun ini sekitar 2-2,1 persen,” katanya.
GHOIDA RAHMAH | FAJAR PEBRIANTO | SYAFIUL HADI